JAWARA POST – Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu-Buddha berdiri pada akhir abad ke-13 dan mengalami masa kejayaan pada abad ke-14.
Kerajaan Majapahit mengalami masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk. Saat memimpin, ia didampingi Patih Gajah Mada.
Masa kejayaan Kerajaan Majapahit disebut tak terlepas dari peran Gajah Mada.
Tahun 2017 lalu, Mahapatih Gajah Mada dan Majapahit sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial berkat tulisan Arif Barata di situs portal-islam.id.
Pasalnya, tulisan yang mengutip buku “Kasultanan Majapahit: Fakta Sejarah yang Tersembunyi” karya Herman Janutama itu menyatakan, Gajah Mada beragama Islam dan Majapahit pun merupakan kasultanan.
Tulisan itu menimbulkan beragam reaksi, tetapi umumnya mencibir dan menertawakan meski juga tak bisa menunjukkan dasar argumennya.
Dalam diskusi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Kamis (22/6/2017), arkeolog menuturkan bahwa jika tak memahami sejarah dan arkeologi, sangat mungkin masyarakat memiliki kesimpulan yang salah tentang Majapahit, melansir media nasional.
Arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar, mengatakan, artefak berbau Islam dari masa Majapahit memang banyak ditemukan.
Di Makam Troloyo, ada 100-an nisan dengan hiasan tulisan Arab yang berasal dari masa 1203 – 1533 Masehi.
Artinya, ada sejumlah nisan yang berasal dari masa sebelum berdirinya Majapahit pada 1292.
Ini berbeda dengan pandangan umum yang menyatakan bahwa Islam baru muncul pada akhir kerajaan itu.
Eksistensi Islam sebelum Majapahit didukung oleh sejumlah catatan.
Hasan mengatakan, “Ada yang menyebutkan, tahun 1082, sudah ada masyarakat Islam di Gresik.”
Meski ada artefak berbau Islam, arkeolog tetap berkeyakinan bahwa kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, bukan Majapahit.
Koin dengan tulisan Arab, nisan dengan kalimat syahadat tidak cukup menjadi bukti keislaman kerajaan yang berpusat di Trowulan itu.
Hasan menegaskan, “Majapahit tetap bercorak Hindu-Buddha, tecermin dalam peraturan perundang-undangan dan sistem teologinya. Saya tidak melihat benih-benih Islam sedikit pun.”.
Arkeolog dan penulis buku “Catuspatha: Arkeologi Majapahit”, Agus Aris Munandar, mengungkapkan, keyakinan bahwa Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buddha didasarkan pada sumber-sumber arkeologi yang sebenarnya punya peringkat tersendiri.
“Sumber peringkat pertama atau yang paling bisa dipercaya adalah prasasti yang sezaman. Lalu prasasti yang terkait dengan prasasti sezaman itu,” katanya.
Untuk peringkat berikutnya adalah data arkeologis berupa monumen, fitur, dan artefak bergerak.
Karya sastra yang sezaman dan yang lebih muda berada pada peringkat yang lebih rendah.
Hal lain yang bisa jadi sumber arkeologi adalah berita asing, legenda, mitos, dongeng, dan pendapat para ahli.
“Kalau ada artefak koin dengan tulisan Arab, itu tidak bisa langsung menghapus kekuatan sumber prasasti lalu dijadikan dasar mengatakan Majapahit kerajaan Islam,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Agus menerangkan, identitas agama Gajah Mada dan Majapahit bisa dilihat dari prasasti dan hingga sistem pemerintahan.
Gelar raja, misalnya, sudah bisa menjadi bukti bahwa Majapahit merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha.
“Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Djayawarddhana Anantawikramotunggadewa. Djayawardhana itu sudah jelas Hindu karena artinya keturunan Dewa Wisnu yang bertahta,” jelas Agus.
Identitas agama Majapahit juga bisa dilihat dari konsep dewaraja. Setiap raja di Majapahit memiliki dewa pujaan pribadi.
Saat raja itu meninggal, dia diyakini akan bersatu dengan dewanya.
Candi yang dibuat pasca meninggalnya raja itu akan dihiasi oleh figur sang raja yang digambarkan sebagai dewa pujaannya.
Agus mengatakan, “Contoh, Tribhuanottunggadewi itu memuja Dewi Parwati, maka setelah meninggal diwujudkan sebagai dewa itu.”
“Nama pejabat tinggi dalam Majapahit juga menunjukkan corak Hindu dan Buddha. Misalnya, ada Dharmmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmmadyaksa ring Kasogatan. Kasogataan artinya Kebuddhaan. Tidak ada Dharmmadyaksa ring Muslimah atau lainnya,” imbuh Agus.
Bukti lain ialah penataan kota Majapahit yang memperhatikan letak gunung yang dipercaya sebagai tempat suci dan corak prasasti.
Soal surya Majapahit yang diklaim menjadi bukti keislaman kerajaan itu, Agus menuturkan bahwa delapan sinar yang ada pada lambang itu sebenarnya adalah tanda arah mata angin, di mana dalam kepercayaan Majapahit, tiap arah angin punya dewanya sendiri.
Sinar Majapahit menjadi ciri khas candi-candi peninggalan Majapahit di mana corak itu dijumpai pada batu sungkupnya.
Agama Gajah Mada sendiri dipercaya adalah Buddha.
Bukti penguatnya adalah catatan kitab Negarakertagama yang menyebut bahwa setelah pensiun, dia dianugerahi tanah Kebuddhaan yang bernama Madakarupira. Lokasi tanah itu berada di selatan Pasuruan.
Menurut Agus, untuk menafsirkan identitas agama suatu kerajaan, peringkat sumber-sumber arkeologis perlu diperhatikan.
Agus mengatakan, “Penulis (Kasultanan Majapahit) kemungkinan tidak mengerti pemeringkatan itu.
Rilis ulang