NUSANTARA, JP. Com – Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbatas sehingga tidak bisa menyentuh kepala desa (Kades), memposisikan pejabat ini sebagai aktor terbanyak korupsi anggaran desa.
Anggaran desa di sini terdiri dari Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa (ADD), serta Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) dari 2016 hingga pertengahan 2017, terdapat 110 korupsi anggaran desa yang telah diproses oleh penegak hukum dan diduga melibatkan 139 pelaku. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan mencapai sedikitnya Rp 30 miliar.
” Dari segi aktor, hampir 200 an dari jumlah yang ada, pelaku merupakan Kades. Itu akan terus bertambah dengan informasi dari daerah yang kian terupdate, ” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana, beberapa waktu lalu.
Sisanya yaitu, 30 orang perangkat desa, dan dua orang istri Kades.
Banyaknya Kades yang menjadi tersangka menunjukkan bahwa tak dilaksanakannya kewajiban mereka sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pasal 26 ayat (4) UU Desa menyebutkan, Kades berkewajiban melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Sementara itu, Almas Sjafrina, peneliti ICW lainnya mengatakan, terbatasnya kompetensi Kades dan perangkat desa merupakan salah satu faktor penyebab korupsi dana desa.
“Banyak Kades yang pendidikan terakhirnya SD dan SMP. Sementara mereka dituntut mengelola anggaran yang cukup besar dan mempertanggungjawabkan secara akuntabel,” kata Almas.
Peneliti ICW lainnya, Egi Primayogha mengatakan, ada batasan kewenangan yang dimiliki oleh KPK sehingga tidak bisa menyentuh tindak pidana korupsi (tipikor) yang dilakukan oleh Kades.
“KPK punya batasan wewenang di Pasal 11 Undang-undang KPK,” kata Egi.
Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf C, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor yang melibatkan aparat penegak hukum, peyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tipikor yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
“Kepala desa enggak masuk, karena bukan domain KPK,” kata Egi.
Hal ini memantik reaksi keras dari LSM Jawara, mengingat di Jawa Timur tepatnya di kabupaten Situbondo, ada 12 kades berpotensi masuk bui atau terali besi alias penjara. Namun sayang, alih alih supremasi hukum, peran inspektorat rupanya jadi tempat aman bersembunyi para maling uang anggaran tersebut.
“Keterbukaan informasi sesuai KIP, itu sangat bagus. Namun, jika hasil LHP masih diposisikan premature, maka para oknum kades yang bermasalah, jadi punya ruang beralibi atau mencar alasan pembenaran, ” kata EAN Pelupessy, SH. MH.
Menurut Wadir 02 LSM Jawara ini, salah satu NGO di Situbondo akan berupaya mencerahkan itu semua. “Sebagai LSM Jawara, kami tidak ingin budaya korupsi terus berkembang dan berkelanjutan. Kami akan konsep skema hukum pelaporan yang tepat dan benar, agar ada efek jera, ” tutupnya.
Redaksi