Ziarah kubur bukan hal terlarang. Hukumnya mustahab (dianjurkan). Di awal perjalanan Islam, perbuatan ini memang dilarang untuk menutup akses menuju syirik. Ketika tauhid telah mapan di hati para Sahabat, ziarah kubur diizinkan kembali dengan tata cara yang disyariatkan. Artinya, siapa saja yang berziarah dengan cara-cara yang disyariatkan, maka ia tidak diizinkan untuk berziarah
M i s t e r i ditemukannya makam Hadzaa Maulaana Sayyid Yusuf bin Abdullah Al-Hasan atau lebih dikenal dengan pesarean Sayyid Yusuf Tlango di Pulau Poteran, desa Talango kec. Talango kab. Sumenep Madura ini, memang tidak ada habisnya untuk dibahas. Namun kali ini, Redaksi JP akan mengungkap penemuan makam tersebut dari cerita rakyat yang paling mendekati kebenaran.
Pesarean Sayyid Yusuf Tlango ditemukan oleh Sri Sultan Abdurrahman dimana beliau adalah seorang Sultan yang berkuasa di kabupaten Sumenep dari tahun 1811–1854, putra Panembahan Somala atau Panembahan Notokusumo Asiruddin, dan kakeknya bernama Bendara Mohammad Sa’ud (R.Tmg. Tirtonegoro Moh. Sa’ud) Sumenep yang berkuasa pada Tahun 1750–1762 M).
Bertemunya nasab Sang Sultan antara kakek (Bendara Moh. Sa’ud) dan neneknya (Nyai Izzah) adalah satu turunan jauh keatas bertemu dengan Sayyid Ali Murtadla (Sunan Lembayung Fadal) dengan Dewi Maduratna (keturunan Raja Pajajaran (Banyak Wedi).
Sejak muda, Sultan Abdurrahman mempunyai suatu kebiasaan yang mulia, dan membawa manfaat bagi orang banyak. Selain itu, beliau sering keluar masuk dari daerah satu ke daerah lainnya yakni, selalu berkelana atau mengembara diberbagai tempat untuk menuntut ilmu kadigjayaan maupun pengetahuan lainnya. Kebiasaan tersebut berlangsung sampai beliau menjadi seorang Adipati di Sumenep. Hal ini terbukti sejak perjalanannya dalam mengembara ke Pulau Bali sehingga menemukan makam Sayyid Yusuf.
Diceritakan, sebelum menjabat sebagai Adipati di Sumenep pada tahun 1791 M/1213 H, Sultan Sumenep Sri Sultan Abdurrahman Pangkutaningrat, bersama rombongan yang diringi oleh beberapa prajurit berangkat dari Kraton Sumenep menuju pulau Bali. Dalam perjalanan untuk kunjungan kenegaraan dan sekaligus dalam menyebar luaskan Agama Islam itu, melewati pelabuhan Talango.
Menurut cerita bahwa, diantara orang-orang di Bali adalah pelarian dari kerajaan Majapahit yang tatkala itu runtuh diserang oleh musuh sehingga, mereka lari menjauh dari serangan dan peperangan hingga terpecah belah, diantaranya berada di Sukapura – Probolinggo dan Bali.
Seharian penuh mereka telah berjalan kaki mengintari daratan yang berjarak cukup jauh. Tentu segenap rombongan banyak yang merasa kelelahan, penat, pegal-pegal. Setibanya dipelabuhan Kalianget, matahari sudah mulai meredupkan cahayanya menandakan malam segera datang. Mengetahui hari mulai gelap, Sultan dan rombongannya terpaksa istirahat dan bermalam disekitar pelabuhan Kalianget.
Tidak terasa, ketika waktu telah larut malam dan semua orang telah tertidur pulas, Sri Sultan Abdurrahman yang masih terjaga dikejutkan dengan melihat seberkas cahaya putih kekuningan yang sangat terang dari atas langit jatuh ke bumi. Cahaya itu jatuh di sebelah Timur pelabuhan tepatnya Pulau Poteran, desa Talango kec. Talango kab. Sumenep Madura.
Usai melihat cahaya itu, terdengar suara riyuh ayam, burung, dan suara segenap hewan lain seolah berdzikir dan memuji kebesaran Sang Pencipta hingga suara-suara tersebut menjemput sang fajar.
Usai adzan subuh berkumandang, setelah Sri Sultan Abdurrahman melakukan shalat subuh berjama’ah dengan para pengikutnya, beliau langsung menceritakan kepada rombongannya tentang kejadian aneh yang dilihatnya semalam. Singkat cerita, sang Sultan memberi perintah mencari tempat jatuhnya cahaya semalam dan segenap rombonganpun langsung bergegas naik perahu menuju pulau tersebut.
Setelah mendaratnya perahu yang ditumpangi Sultan dan rombongannya di Pulau Puteran maka, Sri Sultan Abdurrahman segera memasuki hutan mencari dimana tempat jatuhnya sinar tersebut.
Beberapa lama kemudian didapatkannya tanda sebuah gundukan tanah seakan-akan ada Kuburan baru. Kemudian didepan makam itu, Sri Sultan tampak ditemui sosok kakek berbaju putih. Sri Sultan tampak memberikan salam dan salam beliaupun dibalas pula oleh sang kakek. Akan tetapi percakapan Sultan itu hanya dapat didengar namun tidak satupun orang yang dapat melihat wujud kakek itu kecuali sultan.
Selanjutnya Sri Sultan Abdurrahman bermunajat memohon petunjuk kehadirat Allah SWT, tiba-tiba dalam keadaan munajatnya jatuhlah selembar daun dipangkuan Sultan dan setelah diambil serta diperhatikan daun tersebut ternyata bertuliskan Arab yang tertera nama
Hadzaa Maulaana Sayyid Yusuf bin Abdullah Al-Hasan
Selanjutnya, setelah diketahui bahwa seberkas sinar yang jatuh itu ternyata makam keramat dan ada wangsit berupa selembar daun maka, Sri Sultan Abdurrahman segera memasang Batu Nisan pada kuburan tersebut, dengan memberi tulisan sebagaimana nama yang terdapat pada daun itu. Sebagai suatu tanda bahwa itu adalah makam, dan agar suatu saat jika Sri Sultan kembali lagi tidak lupa dan hilang.
Setelah selesai memasang nisan dan memberi nama, Sri Sultan hendak melanjutkan perjalanannya. Namun sebelum berangkat tongkat yang menjadi teman Beliau di tancapkannya dekat Pasarean Sayyid Yusuf dengan harapan suatu saat nanti dalam perjalanannya mencari makam tersebut sepulang dari Pulau Dewata Bali cepat ditemukan dan mudah dicari.
Dengan kebesaran serta kekuasaan Allah SWT maka, tongkat tersebut hidup sampai sekarang bahkan telah menjadi pohon yang besar dan rindang, akarnya menghunjam kebawah dan melilit pada pohonnya bak mengahalau sesuatu dan tak tergoyahkan oleh tuntutan zaman. Saking besarnya pohon dan akarnya tersebut, seolah membuat pengaman pulau tersebut dari hantaman ombak.
Hal ini merupakan wujud kebesaran Ilahi yang diberikan kepada Sultan Abdurrahman dimana, walaupun beliau telah tiada namun tongkatnya masih tumbuh besar dan masih menyisakan sejarahnya. Disini dapat kita simpulkan bila tongkat yang ditancapkan mulai tahun 1213 H, terhitung hingga sekarang tahun 2018 M maka, hingga kini pohon tersebut sudah mencapai usia 806 tahun, atau lebih 8 abad lamanya.
Sepulangnya melakukan perjalanan dari Pulau Bali Sultan Abdurrahman berniat untuk membangun Pasarean Sayyid Yusuf agar diberi cungkup atau kubah kecil untuk tempat bernaung seseorang kelak ketika ingin kirim doa maupun tafaqqur.
Akan tetapi ada kejadian aneh setelah diberi cungkup, makam tersebut malah berpindah (bergeser) dengan sendirinya ke sebelah timur, hingga disimpulkan bahwa makam tersebut tidak mau diberi cungkup. Hal itu telah dilakukan sampai dua kali, jadi usaha Sultan hanya menjadi sia-sia.
Maka dari itu, makamnya mulai dulu tidak mau dengan pemberian cungkup (congkop), sampai sekarang makam tersebut hanya dibiarkan saja tanpa ada conkop.
Selanjutnya, sekitar kurang lebih satu tahun, kemudian Sri Sultan Abdurrahman mendatangi lagi Pasarean Sayyid Yusuf. Namun, tidak memberi kubah lagi, tetapi kali ini beliau hanya untuk membangun pendopo di sekitar makam tesebut, sebagai tempat khusus orang yang bermaksud untuk ziarah dan begitu juga Sultan sebagai hamba Allah maka, bentuk dari ketaatan beliau kepada-Nya maka dibangunlah masjid’ Jami’ di Kecamatan Talango. Dan Sayyid Yusuf di Talango tersebut, pada catatan sejarah-nya belum diketahui pasti dari mana datangnya dan kapan beliau wafat berada di hutan tersebut dan yang tentunya sebelum ditempati masih menjadi hutan belantara yang tak berpenghuni.
Redaksi