***
PERKATAAN ruwat (Jawa) atau arokat (Madura) berasal dari bahasa Sansekerta atau Jawa kuno yaitu rwad yang kemudian berubah bentuk menjadi rod atau root (Inggris) yang berarti akar (urat, oyot, atau ora’ dalam bahasa Madura). Dari kata rwad itulah dalam bahasa Jawa baru menjadi ruwat (luwar). Diruwat berarti dibebaskan dari dosa karena termakan sumpah atau janji. Ngluwari ujar berarti melaksanakan janji, nazar, sumpah, atau melaksanakan wasiat si mayat, sehingga yang ngluwari ujar itu terlepas dari rasa berdosa.
Perkataan root yang berarti akar itu kemudian disingkat dengan huruf kapital R dan menjadi lambang panjang separuh dari garis tengah suatu lingkaran. Dengan demikian muncullah rumus luas lingkaran yaitu 2 PI x R2. Adapun PI adalah panjang busur lingkaran dibagi panjang garis tengah (=3,14159), seberapa pun besarnya lingkaran. Angka itu tetap saja menjadi keliling lingkaran yaitu PI x 2 R (R adalah jari-jari lingkaran).
Budaya ruwat atau arokat adalah upacara selamatan bagi anak-anak yang dilahirkan dalam susunan keluarga yaitu:
- Anak tunggal
- Dua orang anak (laki-laki dan perempuan)
- Tiga orang (perempuan diapit lelaki atau lelaki diapit perempuan)
- Lima orang (laki-laki semuanya menyerupai Pandawa)
Di tanah Jawa masih banyak lagi yang harus diruwat, antara lain orang yang periuknya roboh saat menanak nasi, orang yang me- nanam waluh (labu) di muka rumah, anak yang selalu sakit-sakitan, anak yang sangat nakal, dan sebagainya.
Upacara ruwat diadakan supaya si anak terlepas dari bahaya. Menurut kepercayaan Jawa, bahaya itu berupa sergapan Batara Kala yang oleh para dewa sudah ditentukan mangsanya. Upacara itu di Jawa dilakukan dengan pertunjukan wayang purwa, sedangkan upacaranya lazim disebut “Hamurwakala”, artinya mengembalikan anak pada asal mulanya, bukan dibunuh melainkan diserahkan kepada Zat yang menciptakan kala (waktu). Bukankah menurut kepercayaan Jawa, waktu dipandang sebagai kekuatan Maha Agung yang menentukan kemalangan, musibah, dan bahagia bagi manusia?
Sedangkan wayang purwa berarti wayang yang sangat awal. Ini adalah gambaran kepercayaan asli masyarakat Jawa zaman dahulu ketika masih memuja Waktu atau Kala.
Lakon cerita wayang pada upacara ruwat sebenarnya adalah lakon Batara Kala. Siapakah Kala itu? Kala adalah putra Batara Surya (Dewa Matahari). Bukankah matahari itu menjadi titik pangkal perhitungan hari atau waktu (kala)? Itulah sebabnya Dewa Kala (Batara Kala) atau Waktu dinamakan “Putra Batara Surya”. Artinya, “waktu” atau “kala” dihasilkan oleh lamanya planet-planet (bumi dan lain- lain) atau satelit (bulan) menjelajahi angkasa mengitari matahari sebagai induknya. Itulah sebabnya Batara Kala disebut juga Surya Atmaja (Putra Batara Surya).
Masyarakat Jawa pada zaman dahulu telah mengenal perhitungan “hari yang tujuh”, yaitu nama-nama hari: Dite, Soma, Nggara, Buda,
Respati, Sukra, dan Tumpak (Sabtu). Nama-nama itu diambil dari nama-nama planet yang berjumlah tujuh (pada waktu itu). Sekarang telah ditemukan dua planet lagi men)adi sembilan. Menilik hal itu, dahulu masyarakat Jawa menggunakan tahun syamsiah (lamanya bumi mengitari matahari dalam setahun). Kemudian dengan kedatangan Islam, maka diperkenalkanlah tahun qomariah (lamanya bulan mengitari bumi dalam setahun). Gabungan antara tahun Saka (lama) dan tahun Qomariah (Islam) itulah yang membentuk perhitungan bulan Jawa sekarang.
Upacara ruwat (arokat) dimaksudkan untuk menyerahkan kembali nasib anak yang diruwat kepada Zat Asal yang menciptakan kehidupan ini, supaya si anak terlepas dari bencana siksa-Nya. Ini sama dengan tobat nasuha dalam ajaran Islam, suatu tobat yang tak akan mengulangi kesalahan lama dan menutupi kesalahan-kesalahan serta dosa dengan kebaikan. Secara simbolis orang tua perlu bertanya kepada diri sendiri, bagaimana anak itu kedka berada dalam kan- dungan sang ibu dan apa yang dilakukan orang tua selama anak berada dalam kandungan. Ruwat pada hakikatnya adalah belajar introspeksi dan retrospeksi
Upacara ruwat di Bondowoso diwujudkan dalam modifikasi budaya Jawa dengan wayang purwa. Bukan dengan mengadakan pertunjukan wayang sebenarnya melainkan dengan fragmen “adegan wayang orang” (wayang topeng) dengan lakon Batara Kala. Ini dilakukan karena ontowacana dengan bahasa Jawa, apalagi Jawa Kawi tak mungkin dapat dilakukan.
Dalam pertunjukan wayang topeng itulah dalang berperan menghidupkan cerita. Dalang mampu mengalihkan jalan cerita ke bahasa Madura. Di sana-sini ada selingan humor supaya pertunjukan menjadi menarik. Dialog-dialog yang diucapkan dalang, diperan- kan oleh pelaku wayang, hampir-hampir menyerupai pantomim dengan mengikuti suara dalang.
Sebelum pertunjukan dimulai, dalang membacakan mantra atau doa memohon keselamatan. Mantra dibacakan di atas kepulan asap dupa (kemenyan) di tengah malam. Sedangkan anak yang di-rokat dimandikan dengan air bunga. Maksudnya agar segar, bersih, dan beraroma harum. Ini adalah simbol budaya membersihkan anak dari segala ancaman dan sergapan Batara Kala.
Pertunjukan itu dilakukan sampai larut malam seperti halnya wayang purwa. Tidak lupa sahibul hajat menyediakan “sesaji” makanan kenduri nasi serta lauk pauk berupa panggang ayam putih mulus yang dipersembahkan kepada leluhur yang telah wafat. Lalu dibacakanlah doa, nasi kenduri pun mulai dimakan. Setelah usai, dalang beserta para pelaku wayang menerima imbalan uang jasa dan transportasi (bagi dalang dan niyaga-nya). Ada kalanya mereka diberi seperangkat alat dapur.
Di Pesantren Sukorejo, Asembagus, Situbondo, ada sebuah buku doa Pangrukat yang berasal dari Kiai Abdul Latief, saudara dari Kiai Syamsul Arifin (alm.). Doa itu dibacakan pada upacara selamatan pekarangan, tegalan, tanaman, kendaraan, perahu atau motor.
Di samping itu ada doa rokat dengan menyembelih kambing hitam. Gunanya untuk menolak serangan wabah penyakit. Kambing disembelih di tengah desa atau di tengah pekarangan. Yang menyembelih harus menghadap ke kiblat, setelah kambing disembelih maka dagingnya dibagikan kepada masyarakat. Kikil (kekot) dan tulang- tulangnya tidak dimakan namun ditanam di tempat penyembelihan kambing tersebut (Kitab ]aami’ud da’awaat).
Dari budaya ruwat ini tersimpan filosofi bahwa:
a. Masalah takdir harus diyakini adanya. Manusia tidak perlu lari pada hal-hal yang musyrik, menyembah waktu seperti pada zaman dahulu: matahari dan bulan disembah. Nabi Ibrahim telah menolak keyakinan bahwa Tuhan itu berupa matahari atau bulan (QS 16: 74-83).
- Letak susunan anak dalam keluarga memang secara psikologis ada pengaruhnya. Anak tunggal biasanya dimanjakan. Begitu pula anak bungsu atau anak tunggal yang diapit dua-tiga anak yang berlainan jenis kelaminnya. Anak-anak yang lelaki semua akan sulit dibina. Biasanya mereka saling berebut kekuasaan. Begitu juga jika semua anak adalah perempuan. Pada umumnya anak kedua suka meninggalkan rumah karena tekanan anak sulung. Kalau orang tua tidak adil dan pilih kasih dalam memberikan layanan pendidikan, maka bencana perkelahian, pertentangan, atau tekanan batin akan muncul. Hal itu akan menyulitkan orang tua untuk mengantarkan anak menuju masa kedewasaannya.
Dengan menghargai waktu untuk mengisi kehidupan maka kebahagiaan hidup akan tercapai. Islam sangat menghargai waktu. Disiplin salat mengarah pada disiplin pribadi dan berguna bagi pembentukan watak pribadi kelak. Allah berfirman dalam surat Al-Jumu’ah: Apabila telah usai salat Jumu’ah, bertebaranlah kau di muka bumi mencari rejeki karunia lllahi (QS 62: 10).