BALIKPAPAN – Seorang pria tengah terbaring menyamping di atas tikar rotan. Kedua lengannya menutupi wajah, matanya berair menahan sakit. Sementara itu di kakinya, dua orang pria berpakaian adat Dayak duduk.
Seorang, Izi, memegangi betisnya, rekannya yang lain Ucin, memegang dua bilah tongkat kayu. Di tangan kanan sebuah tongkat sepanjang 30 cm dengan jarum di ujungnya.
Tangan kirinya memegang tongkat dengan panjang yang sama, hanya saja berukuran lebih besar dan ujungnya membulat.
Diketuknya ujung tongkat berjarum tadi ke kulit si pria menggunakan tongkat di tangan kirinya. Sesekali Ucin mencelupkan ujung jarum ke dalam tinta yang diletakkan di dalam wadah plastik mungil di dalam batok kelapa.
Setelah beberapa saat mengetukkan alatnya, dia berhenti, lalu mengelap kulit yang sudah ditinta dengan tisu.
Ini adalah pemandangan yang terlihat dalam festival tato, Ber Ink Man, yang diadakan oleh komunitas tato, Balikpapan Tattoo Lovers di Pantai Banua Patra hari Minggu kemarin.
Ucin dan Izi menggunakan teknik yang berbeda dari kebanyakan seniman tato yang hadir.
Jika di sekeliling mereka terdengar desing halus mesin yang digunakan untuk rajah tubuh, maka dari tempat keduanya bekerja akan terdengar bunyi ‘tok tok tok,’ tongkat kayu dipukulkan. Itulah teknik ‘hand tapping.’
Teknik tato tradisional yang sudah turun temurun dipakai oleh beberapa suku di Indonesia, termasuk Suku Dayak di Kalimantan. “Tetapi sekarang sudah nggak banyak lagi yang begini,” tutur Ucin.
Baca juga : RADAR MALUKU : Jelajah Tempat Memukau di Maluku
“Di beberapa tempat sudah hilang, makanya kami berusaha agar teknik ini bisa terus ada, dan diturunkan sampai ke generasi berikutnya.”
Dirinya bercerita, bahwa dia mulai belajar menjadi seniman tato sejak tahun 2011. “Tapi saya baru belajar membuat tato dengan teknik tradisional ini sejak tiga tahun lalu, saya belajar otodidak,” katanya.
“Ini alatnya saya buat sendiri. Tongkat jarum dan tongkat pukulnya saya buat dari kayu ulin. Kenapa saya ingin belajar ini, karena ya tadi, saya ingin melestarikan budaya yang sudah mulai dilupakan,” katanya.
Izi, yang menemani Ucin, bercerita keduanya berasal dari Kampung Dayak, di Bangun Reksa, Balikpapan.
Mereka bersama komunitas Dayak yang ada di kampungnya tengah berusaha agar Balikpapan menjadi tempat tujuan wisata untuk mengenal budaya Dayak, termasuk tato tradisional.
“Karena Balikpapan ini kan pintu gerbang Kalimantan Timur, jadi begitu orang turun di bandara, harapannya mereka bisa menemukan tempat yang ada hubungannya dengan budaya Kalimantan, tanpa harus pergi terlalu jauh,” ucapnya.
Kendati demikian, dirinya mengakui tidak bisa melakukan teknik tato’hand tapping’ seperti yang dilakukan Ucin.
“Makanya untung aja orang semacam pak Ucin mau terus eksis di bidang ini. Ya mungkin untuk tao – tato modern, masyarakat Indonesia senang, tapi untuk orang-orang dari luar negeri mereka mencari yang unik,” jelasnya.
Bahkan diceritakan olehnya ada artis internasional yang datang beberapa waktu lalu ke bumi Kalimantan pun, mencari seniman tato dengan teknik ‘hand tapping.’
“Kemarin Jon Bon Jovi waktu datang ke sini, nyarinya tato radisional. Padahal, di negaranya kalau masalah tatokan sudah jauh lebih maju daripada kita,” tukasnya.
Simak pula : RADAR JP : Terkuak !!!! Pembantai 1 Keluarga di Dalam Rumah
Dia bercerita, bahwa saat ini citra tato masih kerap dipandang negatif oleh masyarakat. Tetapi, dia mengingatkan, pada zaman dahulu bagi orang Dayak tato ditujukan untuk perlindungan dari berbagai macam energi negatif, dan motif-motif yang dirajah pun memiliki makna mendalam bagi pemiliknya.
Tato bunga terong, misalnya, dengan gambar tali nyawa (bentuk usus pada katak) di bagian tengahnya merupakan penanda bahwa seorang lelaki dari suku Dayak telah memasuki masa usia dewasa.
Dijelaskan Izi, meski mengangkat tema tradisional, peralatan yang mereka gunakan haruslah tetap berstandar kesehatan yang jelas.
“Jadi jarumnya tetap sekali pakai, setelah dipakai akan langsung dibuang. Kemudian tintanya juga kami gunakan tinta berkualitas tinggi, bukan lagi tinta dengan arang seperti zaman dulu. Ini tradisional, tapi modern,” tukasnya.
Klik link ini : RADAR BESUKI : Heboh…!!! Taman Kursi Hujan Es Bersama Sapuan Puting Beliung
Lebih lanjut, dia berharap agar pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak-pihak seperti dirinya untuk bisa menghidupkan serta mengangkat kebudayaan di tanah Kalimantan agar ciri khasnya tidak hilang.
Bukan hanya tato, tapi kebudayaan lain seperti tari-tarian, lagu, dan musik daerah. “Karena kebudayaan kita mendapat apresiasi yang luar biasa dari luar, jangan sampai kita sendiri malah mengabaikannya, dan akhirnya malah punah,” tutupnya.
Kaliamntan