Jika paradigma lama terkesan melahirkan dikotomi bahwa Cagar Budaya hanya berafiliasi kepada kepentingan akademis semata, kini sesuai perkembangannya, dan ditunjang dengan keberadaan Undang-undang No. 11 Tahun 2010 ditekankan bahwa, pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan hingga pariwisata
Jawara Post 2018
Gedung eks Karesidenan adalah gedung kebanggaan masyarakat 4 kabupaten terutama warga masyarakat Situbondo dimasa pemerintahan Belanda. Bangunan tersebut banyak digunakan sebagai tempat bertemunya pejabat – pejabat tinggi negara dan kunjungan raja – raja seluruh Nusantara dimasa itu.
Hingga pada masa Bupati R.PANJI.A.SALEH KUSUMO WINOTO ditahun 1950 bangunan tersebut tidak digunakan lagi oleh pemerintah sebagai gedung Karesidenan dikarenakan dihapusnya sistem Resident di sebagian daerah di Indonesia. Akan tetapi oleh R. SALEH selaku Bupati SITUBONDO di masa itu gedung Resident digunakan sebagai tempat pertemuan untuk tamu-tamu penting dari luar daerah dan tamu dari luar negeri.
Salah satunya adalah kunjungan wakil dr India ke Situbondo dalam acara kunjungan kerja info usaha kerakyatan dan pembinaan soal sistem irigasi di Situbondo. Setelah masa peralihan pemerintahan ditahun 1960an kondisi gedung eks Karesidenan mulai kurang diperhatikan, sehingga sebelum ada wacana RESTORASI gedung tersebut terkesan di terlantarkan.
Dengan adanya wacana dari sebagian pegiat dan relawan sejarah Besuki untuk mendaftarkn gedung eks Karesidenan sebagai gedung cagar budaya ke BPCB Jawa Timur, sehingga ditanggapi serius oleh beberapa pihak termasuk PEMDA Situbondo. Tetapi sangat disayangkan gedung yang menjadi kebanggaan masyarakat Situbondo dan pemerintahan Belanda dikala itu, dalam RESTORASI pembangunannya dinilai terkesan asal asalan.
Pasalnya, pekerjaan itu tidak memperhatikan nilai sejarah dan nilai seni dari gedung tersebut. Penggantian elemen – elemen dari bangunan tersebut menjadi bumerang dikalangan pihak pemerhati sejarah Besuki dan pemuda Besuki, termasuk juga aktifis dan Ketum LSM Siti Jenar, EKO FEBRIANTO.
Sejatinya, Cagar Budaya sebagai sebentuk tinggalan dari tapak aktivitas kebudayaan maupun jejak atas tiap-tiap langkahan sejarah, tidak sekadar hadir dalam ke eksotisan secara kasat mata belaka, pun dapat menjadi ruang yang membawa kita hanyut dalam naungan kontemplatif.
Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keterlibatan dan kebersamaan pelbagai pihak dalam melestarikan Cagar Budaya secara langsung maupun tidak lansung akan dapat memperkuat identitas dan kepribadian bangsa. Hal ini pun akan menjadi manifestasi sikap dalam rangka melestarikan warisan leluhur dan warisan umat manusia, serta meningkatkan harkat dan martabat melalui Cagar Budaya.
Bersambung………