DENPASAR BALI, Jawara Post – Miguel Covarrubias penulis buku ‘’The Island of Bali’’ pernah menulis sebuah artikel berjudul ‘’Bali Binasa: Sebuah Spekulasi’’. Tulisan tersebut menjadi salah satu artikel di buku ‘’Bali Tempoe Doeloe’’ yang disusun Adrian Vickers. Sebagai seorang pencinta Bali, Covarrubias juga memiliki kekhawatiran mengenai keruntuhan kebudayaan Bali akibat ancaman pariwisata dan modernisasi.
Namun, berbeda dengan para pengamat keruntuhan kebudayaan Bali, seniman multitalenta ini mengajukan optimismenya tentang ketahanan kebudayaan Bali. Bahwa manusia Bali memiliki kemampuan untuk tetap tegak menjaga otentisitasnya karena memiliki kepribadian yang unik.
Optimisme Covarrubias sepertinya terbukti. Meski para pengamat keruntuhan kebudayaan Bali telah menentukan waktu kehancuran yaitu dari 1334 hingga 1908, lalu pada 1920, 1935, 1942, 1950, 1969, dan 1987, kenyataannya kebudayaan Bali masih tetap eksis.
Pemerintah Hindia Belanda, sebagai penjajah di Bali, disebutkan Covarrubias, berperan cukup besar dalam menjaga kebudayaan Bali. Salah satunya dengan mengeluarkan larangan menjual tanah kepada orang asing untuk dieksploitasi. Ini menjadi salah satu kebijakan manusiawi, selain larangan menghentikan tradisi satia yakni bunuh diri janda yang ditinggal mati dengan menceburkan diri ke api serta mengurangi kesewenang-wenangan kaum bangsawan terhadap rakyat jelata.
Larangan menjual tanah kepada orang asing, sepertinya lahir dari kesadaran bahwa manusia Bali sangatlah lekat dengan tanahnya. Kebudayaan Bali tidak bisa eksis jika manusia Bali dipisahkan dari tanahnya. Artinya, jika tanah sampai dikuasai bukan lagi oleh manusia Bali, maka kebudayaan Bali akan meredup hingga akhirnya menghilang.
Tantangan yang dihadapi Bali kini, tidak seperti masa-masa sebelumnya terutama karena berlipat-lipatnya kekuatan arus modernisasi dan ekonomi kapitalistik. Utamanya dampak terhadap status kepemilkan tanah. Sebagai sebuah gambaran, saat ini begitu banyak warga negara asing (WNA) yang ‘’menguasai’’ properti di Bali, baik dalam bentuk tanah maupun vila.
Penelitian dari Kelompok Kerja Krisis Nominee Indonesia (K3NI) di tahun 2015 lalu mengungkapkan data mengejutkan yakni ada hampir 10.500 bidang tanah dan 7.500 vila di Bali ‘’dikuasai’’ WNA. Ini belum termasuk peralihan kepemilikan tanah dari warga Hindu Bali kepada yang non-Hindu yang jumlahnya semakin masif.
Maka, Bali Binasa, sepertinya tidak lagi sebuah spekulasi namun sedang berada di ambang kenyataan. Bali binasa berarti kebudayaan Bali tidak lagi memiliki eksistensi. Karena tanpa kebudayaannya, apalah Bali yang tidak lebih hanya sebuah pulau tanpa memiliki lagi otentisitas yang membuatnya tiada duanya di dunia. Jika saja Covarrubias masih hidup dan tinggal di Bali, mungkin ia akan menulis ‘’Bali Binasa: Di Ambang Kenyataan’’.
Nyoman Winata/JP