Oleh : Petrus Riski
“Perkembangan sektor pariwisata yang kian pesat di Indonesia, khususnya di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, telah mendorong perkembangan berbagai sektor lain. Tetapi hal ini juga diikuti dampak negatif yaitu semakin maraknya praktik prostitusi, khususnya yang melibatkan anak-anak”
MARAKNYA……praktik prostitusi seiring kian majunya industri pariwisata di Banyuwangi menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan. Terlebih jika hal ini melibatkan anak di bawah umur. Penangkapan pelaku pedofilia dan pemakai jasa prostitusi anak baru-baru ini adalah alarm yang nyata.
Sejumlah siswa-siswi sekolah menengah kejuruan (SMK) pariwisata di Banyuwangi, menuturkan pengalamannya menyaksikan adanya indikasi keterlibatan anak-anak dalam praktik prostitusi terselubung, diantaranya Wike Septian, siswi kelas XII SMK di Banyuwangi.
“Pernah dengar, biasanya itu di hotel, ya biasanya ada di kolam renang, di pantai, apalagi itu orang luar atau bule ya, terus untuk pasangannya itu juga ada orang domestik dari Indonesia juga,” ungkap Wike.
Siswi lainnya, Uun Eva Sari, mengatakan, “Kalau saya sih, saya sendiri enggak, gak mau. Setiap perhotelan pasti ada resiko yang kayak gitu, yang akan terjadi pada kita meskipun kita itu selalu membentengi, tapi selalu ada godaan.”
Prostitusi yang melibatkan anak usia sekolah, biasanya berawal dari tawaran gaya hidup yang mengikuti trend serta keinginan memiliki sejumlah barang bermerk dengan harga yang mahal. Anak-anak tergoda mengikuti gaya hidup mewah dan trendy, menjadi pemandu lagu pada rumah karaoke dan tempat hiburan malam.
Warga Banyuwangi, pemerhati prostitusi online, Wahyu Widodo mengatakan, praktik prostitusi online dan terselubung sudah diketahui secara umum, dengan mucikari yang seringkali menawarkan anak usia sekolah untuk menemani tamu di rumah karaoke maupun sejumlah hotel berbintang.
“Itu kan biasanya diajak nyanyi dulu, biasanya diajak pertemuan, nyanyi, nyanyi, nyanyi, setelah itu sama maminya (mucikari) oh ini lho begini begitu begini begitu, itu kan ada maminya, sudah jelas-jelas kayak di Banyuwangi ada Madam Maya yang biasa suka jualan anak-anak, makelaranlah, mucikari, kenapa sampai sekarang tidak pernah disentuh sama aparat itu lho,” kata Wahyu.
Selain ketertarikan hidup mewah, sosiolog di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Anis Farida mengatakan ada nilai-nilai yang seakan hilang dalam keluarga, yaitu untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah, atau di Indonesia dikenal sebagai nilai keperawanan/keperjakaan.
“Pada usia-usia kelas 3 SMP, 2 SMP, mereka sudah berani melakukan hal-hal yang seperti ini hanya demi mengejar gaya hidup untuk punya misalnya smartphone, bisa hangout ke kafe, ya imbalannya seperti itu. Jadi kalau perspektif sosiologis ya kita prihatin kenapa kemudian nilai-nilai keluarga, nilai yang selama ini kita yakini bahwa misalnya keperawanan itu sesuatu yang harus dijaga, janganlah kemudian diumbar atau diberikan kepada orang lain hanya untuk imbalan-imbalan yang sifatnya konsumtif semacam itu, itu bisa terjadi, bagaimana keluarga mensosialisasikan nilai-nilai yang bisa dipegang oleh anak. Jadi bangunan utama untuk kembali menata ini adalah keluarga,” ujar Anis.
Aktivis pendampingan dan pemerhati pekerja seks di Banyuwangi, Jos Rudy, membenarkan adanya praktik prostitusi terselubung yang melibatkan anak usia sekolah. Sejumlah tempat wisata dimana terdapat hotel serta tempat hiburan malam, dipastikan menawarkan dan menyediakan para pekerja seks yang dapat dihubungi secara langsung maupun online.
“Modusnya ya, karena saling menguntungkan mungkin dianggapnya, misalnya penyedia jasa kayak hotel, saya manager misalnya ditarget untuk menggaet tamu-tamu banyak, dari manca negara, dari lokal, terus apa yang harus dipromosikan, kadang ada tambahan promosi plus-plus itu dari pegawainya misalnya menawarkan, karena mereka kan juga butuh tambahan fee. Kadang tamunya tanya, umur berapa? yang muda ada, yang tua ada, sampeyan butuh yang mana, sudah ada jaringan itu. Kebanyakan ya cari yang muda, kadang yang SMA, SMP ada itu, tergantung kemauan si tamu itu,” tutur Jos.
Jos Rudy secara blak-blakan memaparkan bahwa keberadaan pekerja seks anak sudah cukup lama ada di Banyuwangi dan hampir tidak ada yang melaporkan ke aparat. Para pelaku biasanya menawarkan untuk membuka tempat usaha, sebagai imbalan bagi anak di bawah umur agar mau menjadi pekerja seks.
Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (ALIT), Yuliati Umrah mengungkapkan, pada tahun 2014 ada 41 anak yang menjadi korban dan diselamatkan dari praktik prostitusi anak di Bali, sebagian besar berasal dari Banyuwangi.
Selain itu, penggerebekan tempat hiburan di Bali yang diduga melibatkan anak dibawah umur sebagai penyedia layanan seks pada Desember 2018 lalu, menjadi bukti praktik prostitusi yang melibatkan anak di daerah wisata. Praktik prostitusi yang melibatkan anak kata Yuliati, tidak pernah dilakukan secara terbuka, namun hal itu dipastikan ada pada setiap daerah yang menjadi tujuan wisata, termasuk Banyuwangi yang diproyeksikan sebagai “The Next Bali.”
“Kalau terang-terangan sih enggak ya, gak pernah ada yang terang-terangan menyatakan kita jualan anak, gak mungkin, tapi sering ditemukan kalau ada tamu membutuhkan pekerja seks ya, untuk prostitusi, ada saja, banyak cara untuk mendapatkan, itu yang kami temukan dari driver-driver travel, sopir taksi, bahkan security hotel, pemandu wisata, bahkan front office, tetapi ini tidak pernah terang-terangan. Khusus untuk yang anak-anak, yang masih berseragam, sering kali kita temukan mereka tidak paham bahwa yang disebut anak-anak itu dibawah 18 (tahun), ya mereka pikir anak-anak itu yang masih SD. Sering kali banyak yang gak ngerti bahwa itu anak-anak,” ungkap Yuliati.
Sosiolog Anis Farida yakin persoalan keterlibatan anak dalam prostitusi di daerah wisata, dapat diatasi meskipun sangat sulit penanganannya.
“Ketika kita menyadari bahwa ini adalah sebuah masalah bersama yang harus kita selesaikan bersama dengan melakukan sebuah gerakan tertentu, maka kita masih berharap bahwa itu semua akan bisa terkendalikan,” imbuhnya.
Membantu mereka yang sudah menjadi korban adalah tantangan lainnya.
“Kalau sudah kadung (terlanjur) jadi korban ya, mau gak mau psychosocial recovery dan reintegration ini menjadi langkah yang paling urgent. Psychosocial recovery adalah pemulihan secara psikis, secara mental, secara fisik maupun secara sosial. Pemulihan sosial itu psicosocial recovery, sosialnya, bagaimana memulihkan secara sosial, bagaimana masyarakat ini menerima dia sebagai manusia, diorangkan, karena saya kira manusia itu bisa kok diajak bersama-sama jadi baik ketika willingness-nya ini yang disentuh,” tambah Yuliati Umrah.
Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, Choliqul Ridha mengatakan fenomena pekerja seks anak di daerah yang menjadi obyek pariwisata harus menjadi perhatian dan penanganan bersama semua pihak. Meski belum memiliki data terkait temuan pekerja seks anak di Banyuwangi, Choliqul Ridha menegaskan akan melakukan langkah-langkah untuk memutus praktik prostitusi anak, baik yang langsung maupun terselubung. Terutama dengan menindak tegas pengelola tempat hiburan dan hotel yang kedapatan menyediakan atau menawarkan pekerja seks anak bagi wisatawan.
“Kalau memang itu benar nanti akan kita coba cari langkah-langkah, bagaimana kalau memang data-data ini benar kita akan coba pendampingan, apa masalahnya, kalau memang ada masalah pendidikan di sekolah kita akan kerja sama dengan Dinas Pendidikan menggunakan program-program sekolah sehingga mereka bisa disekolahkan, hari ini mereka tidak ada biaya, ya mereka dibiayai oleh pemerintah, ya itu upaya kita,” papar Choliqul.
Jawara Post Group