PROBOLINGGO, JP – Di balik angka-angka statistik yang mengkhawatirkan, tersimpan kisah-kisah manusiawi yang sarat pelajaran hidup. Selama bulan Maret 2025, Pengadilan Agama Kraksaan mencatat 288 perkara perceraian di Kabupaten Probolinggo.
Dari jumlah tersebut, 88 merupakan cerai talak dan 200 merupakan cerai gugat. Di antara deretan angka itu, ada kisah nyata yang menggambarkan betapa rapuhnya fondasi rumah tangga jika hanya bertumpu pada cinta semata.
Sebut saja Melati (nama samaran), 47 tahun, warga Kecamatan Kraksaan. Ia memutuskan untuk menggugat cerai suaminya setelah 25 tahun menjalani pernikahan yang dipenuhi suka dan duka.
Meski telah mengarungi bahtera rumah tangga selama seperempat abad, Melati akhirnya sampai pada titik lelah, ketika cinta tak lagi mampu menahan luka pengkhianatan yang terus berulang.
“Saya pikir, cinta sudah cukup untuk membuat rumah tangga bertahan. Tapi ternyata, tanpa iman dan saling menghargai, pernikahan bisa sangat rapuh,” ungkap Melati dengan nada getir.
Perlahan namun pasti, perhatian berganti jadi kecurigaan. Suaminya berkali-kali berselingkuh. Melati pun sadar, bahwa memilih berpisah bukan berarti menyerah pada cinta, melainkan memilih mencintai dirinya sendiri.“Saya terlalu lama berpura-pura bahagia,” katanya.
“Perceraian ini bukan kemenangan. Ini luka. Tapi saya tidak ingin terluka lebih dalam lagi,” urainya.
Ia menyesal, dahulu menikah hanya karena terpikat tampilan fisik dan status sosial suaminya, tanpa menelisik lebih dalam tentang nilai-nilai spiritual dan tanggung jawab emosional yang seharusnya menjadi pondasi rumah tangga.
“Dulu saya cuma lihat materi. Saya lupa melihat ketakwaan dan akhlaknya,” ujarnya lirih.
“Semoga para perempuan muda belajar dari kisah saya,”imbuhnya.
Sementara itu, di sisi lain, Dimas (nama samaran), 35 tahun, juga menyesali kegagalannya dalam membina keluarga. Ia bukan pelaku kekerasan, bukan pula berselingkuh. Ia hanya terlalu sibuk mengejar ekonomi, tanpa sadar telah mengabaikan komunikasi dengan istrinya.
“Saya pikir, selama saya bekerja keras, istri pasti paham. Ternyata dia butuh saya untuk hadir, bukan cuma untuk memberi uang,” ungkap Dimas.
Kini, Dimas hidup sendiri. Anak semata wayangnya tinggal bersama mantan istrinya. Toko miliknya yang dulu ramai, kini terbengkalai. Ia mengaku kehilangan semangat hidup.
“Kalau bisa diulang, saya ingin jadi suami yang lebih peka, lebih sabar, dan lebih hadir,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Refleksi: Cinta Butuh Fondasi yang Kuat
Perceraian kadang tak terhindarkan, namun kisah Melati dan Dimas mengajarkan bahwa cinta saja tak cukup. Ketakwaan, komunikasi, dan saling menghargai jauh lebih penting dalam menjaga keutuhan rumah tangga.
Dalam catatan nasional, perceraian yang diajukan oleh pihak istri (cerai gugat) kerap mendominasi, dan faktor utama sering kali meliputi perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, serta kurangnya tanggung jawab.
Melalui kisah ini, kita diingatkan untuk tak hanya mencari cinta, tapi juga menyiapkan diri untuk memelihara pernikahan dengan iman, kesabaran, dan usaha saling memahami. Karena pernikahan bukan hanya tentang hidup bersama, tetapi tentang bertumbuh bersama dalam suka maupun duka. (Fik)