PT JAWARA POS GRUP

SELAMAT & SUKSES RI 1

NU Menjadi Nafas Dari Tumbuhnya Dunia Pesantren

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia tidak bisa dibantah, sudah banyak hasil survei yang mencoba mengestimasi jumlah warga NU
                                       Oleh Eko Supriatno
Angka yang beredar di media menyebutkan bahwa warga Nahdliyin berkisar di angka 60 juta sampai 120 juta jiwa. Alvara Research Center berdasarkan hasil survei Desember 2016 menyebutkan bahwa penduduk muslim Indonesia yang berafiliasi dengan NU berjumlah 79 juta jiwa.
Dengan jumlah yang begitu besar, suara NU tentu mewarnai setiap denyut nadi bangsa Indonesia, dalam setiap sejarah penting Indonesia peran NU dan warganya terlihat jelas dan sangat diperhitungkan.
Pesantren dan NU ibarat dua sisi mata uang, atau ibarat ikan dan air. Hampir mustahil rasanya jika kita berbicara tentang NU tanpa melibatkan kondisi aktual pondok pesantren, demikian pula sebaliknya. Kehidupan organisasi NU menjadi nafas dari tumbuhnya dunia pesantren, sebaliknya pesantren merupakan oksigen yang tak bisa dilepaskan dari keseharian jamaah NU.
Karena itu dalam rangka memperingati Hari Lahir (harlah) ke 92 NU ini, pada tempatnyalah jika kita mulai kembali mengkaji peran sentral pesantren dalam tumbuh kembang NU dan memikirkan kembali strategi pengembangan pesantren yang lentur dan dapat diterima masyarakat luas di era global ini. Tantangan dunia pesantren, dengan demikian, haruslah didudukkan dalam konteks kekinian, terutama ketika negara dan bangsa Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada kemelut dan polarisasi tiada henti aspek sosial, politik, ekonomi dan keagamaan.
Konon, kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Ada juga yang mengatakan kata itu berasal dari bahasa India shastridari akar kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Di luar pulau Jawa, lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, contohnya dengan sebutan surau (Sumatra Barat), dayah (Aceh) dan pondok (daerah lain). Pesantren selalu ditandai denganadanya hubungan yang akrab antara santri dan kiai, kemandirian, dan semangat gotong-royong dalam suasana penuh persaudaraan.
Namun demikian ada juga pendapat yang mengatakan pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat. Kelompok-kelompok tarekat biasanya melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid-wirid tertentu. Ada pula pendapat lain bahwa pesantren merupakan pengambilalihan dari sistem yang telah diterapkan oleh orang Hindu. Fakta pendukung bahwa pesantren bukan berakar dari tradisi Islam adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negaraIslam lainnya.
Pesantren tumbuh dan berkembang subur di Indonesia. Perubahan penting terjadi dalam kehidupan pesantren ialah ketika dimasukkannya sistem madrasah, sebagai imbangan terhadap pesatnya pertumbuhan sekolah-sekolah yang memakai sistem pendidikan Barat.
Dengan masuknya sistem madrasah, jenjang-jenjang pendidikan pesantren juga ikut menyesuaikan diri dengan jenjang madrasah. Pertanyaannya adalah, apakah sesudah itu pesantren menjadi lebih baik, atau terjadi kemunduran karena pesantren seakan dipaksa untuk ikut sistem yang terkesan tidak familiar dengan lingkungan sebelumnya?
Sangat sulit untuk menjawab masalah tersebut, karena pesantren selama ini tidak dievaluasi berdasarkan kriteria dan keunggulan yang dimilikinya. Jika dahulu kala kita mengenal karakter dan kelebihan pesantren berdasarkan nilai intrinsik para kiyai berdasarkan kemampuan ilmunya (fiqh, tafsir, tasawuf, dan keilmuan lainnya), maka saat ini kita kurang mendapati klasifikasi semacam ini tetapi lebih banyak pesantren yang mengadopsi sistem madrasah.
Salah satu kelebihan pesantren dengan keunggulan ilmu seorang kiai adalah adanya pola belajar yang tuntas (mastery learning),  tetapi dengan masuknya madrasah ke dalam pesantren menjadikan pola belajar pesantren berubah.
Selain itu kurikulum pendidikan di pondok pesantren yang cenderung mengedepankan proses pembelajaran dengan hafalan (rote learning) daripada pembelajaran kolaboratif dan aktif (active learning), juga harus menjadi concern kita bersama. Memang metode hafalan pada kondisi tertentu dibutuhkan untuk menyerap hal-hal dasar secara instan, misalnya menghapal surat Al-Qur’an dan doa-doa sehari-hari. Namun, metode ini menjadi bermasalah jika digunakan sebagai acuan dalam proses belajar mengajar karena memberikan lebih banyak kerugian daripada manfaatnya.
Misalnya, ilmu pengetahuan yang diserap oleh peserta didik dengan metode ini tidak bertahan lama. Selain itu, seseorang yang dipacu untuk menghafal akan kesulitan memahami persoalan ketika dia dihadapkan pada konteks yang berbeda. Pembelajaran dengan hafalan memperlemah daya analitis dan kreatif peserta didik. Karena itu penting bagi kita untuk mengkaji kembali kurikulum pendidikan di pesantren karena santri juga berhak atas quality education for all.
Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang sangat penting di Indonesia, pesantren memerlukan pemberdayaan di bidang kurikulum, sehingga baik guru/ustad maupun santrinya mendapatkan pendidikan dengan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan dari sudut ilmu pendidikan dan pengembangan kurikulum. Selain itu, pesantren juga dapat membuat program pengembangan kapasitas masyarakat yang sesuai dengan perkembangan saat ini.
Mengingat kekuatan pesantren adalah masyarakat sekitar, saya membayangkan jika di Indonesia yang demikian plural dan dinamis ini ada pesantren yang mempertimbangkan untuk tumbuh menjadi semacam community college di tempatnya masing-masing. Jika kelebihan Muhammadiyah pada sektor pendidikan formal sangat kentara, maka menjadikan pesantren sebagai community college adalah sebuah keharusan agar ada kompetisi secara sehat dalam mengelola lembaga-lembaga pendidikan berkualitas.
Sebagai community college, pesantren pasti akan memiliki keunggulan karena sejak dahulu basis dukungan pesantren adalah masyarakat sekitar. Karena itu penting bagi NU untuk melakukan assessment yang komprehensif tentang kemungkinan menjadikan beberapa pesantren di Indonesia sebagai community college yangberfungsi sebagai lembaga pendidikan dan pelatihan yang secara sistematis melakukan pelatihan, pendidikan dan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka equity access.
Jika NU melalui pesantrennya dapat memetakan secara komprehensif kebutuhan pengembangan sumberdaya manusia secara persis dari setiap daerah, maka community college adalah solusi bagaimana menjawab aspek pengembangan SDM sebuah daerah. Mari kita lihat misalnya jumlah buruh pabrik, pekerja kantoran, guru dan juga kebutuhan anak-anak lulusan SMA dan Aliyah yang menginginkan kursus-kursus keterampilan tertentu, mereka semua adalah pangsa pasar yang tak pernah dipetakan dan digarap secara maksimal.
Di Amerika saja, setiap kabupaten/kota pasti memiliki community collegedalam rangka menangani aspek kapasitas dari masyarakat di sekitarnya. Community college biasanya merupakan bagian setengah resmi dari sebuah perguruan tinggi di setiap negara bagian. Bisa dibayangkan akan ada berapa banyak jenis community college yang dapat dikerjasamakan dengan perguruan tinggi tertentu dan menjadikan pesantren sebagai inisiator dari tumbuhnya proses peningkatan kapasitas masyarakat secara langsung dan tepat guna.
Dengan mempertimbangkan keunikan dan posisi pesantren seperti yang selama ini ada dan kita kenal, maka visi pesantren sebagai community collegediharapkan akan mampu menumbuhkan dan mendukung kehidupan ekonomi, budaya dan intelektual komunitas muslim di sekitar pesantren serta sebagai model penyatuan komitmen dan pelayanan masyarakat.
Karena itu misinya dapat dirumuskan untuk dan dalam rangka menciptakan lingkungan pembelajaran dan pengembangan riset yang fleksibel, kualitas pendidikan yang terjangkau, program pelatihan yang mendukung bursa tenaga kerja dan berorientasi pada tanggungjawab sosial.
Dengan visi dan misi di atas, sangat boleh jadi konsep community collegeakan menjadi bidang garap yang menarik tetapi kurang mendapat perhatian serius. Padahal, kajian tentangnya justru mempunyai nilai intelektual strategis bagi kelanjutan dan masa depan pesantren dan NU itu sendiri. Perhatian yang terlalu terpusat pada kajian-kajian yang bersifat global dan kontemporer telah melupakan wacana lokal Islam (Islamic local discourse) di Indonesia, termasuk menghitung danmempertimbangkan pengembangan pesantren untuk menjadi community college.
Sudah saatnya kita mengkaji peran besar pesantren berdasarkan unsur SWOT yang ada pada pesantren. Tidak lupa juga agar setiap kajian hendaknya diteruskan dengan implementasi program yang baik dan tepat sasaran, tetapi harus bersumber dari kesepakatan bersama seluruh komunitas pesantren. Dengan demikian peran besar pesantren ke depan akan jauh lebih baik dan strategis, jika diimbangi dengan program pengembangan yang sejalan dengan tuntutan masyarakat sekitarnya.
Redaksi
Jawara Post Group


Menyingkap Tabir Menguak Fakta