PT JAWARA POS GRUP

SELAMAT & SUKSES RI 1

NTB :Zul-Rohmi, Mimpi Besar dan “Debu di Atas Batu”

Catatan: Agus Talino

Ujian kepemimpinan Dr. H. Zulkieflimansyah dan Dr. Hj. Sitti Rohmi Djalilah (Zul-Rohmi) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTB sangat berat. Setelah NTB diguncang  gempa pada awal kepemimpinannya. Sekarang muncul Covid-19. Kedua peristiwa ini dampaknya sangat terasa. Dunia usaha. Termasuk sektor pariwisata yang menjadi salah satu sektor andalan NTB sangat terpukul.  Hotel-hotel tidak beroperasi. Karyawan dirumahkan. Akibatnya, bisa muncul persoalan baru. Pengangguran dan kemiskinan.

Jarak peristiwa gempa dan Covid-19 tidak terlalu jauh. Belum sepenuhnya dampak gempa bisa dibenahi. Covid-19 muncul menghantui dunia. NTB perlu mencari cara untuk keluar dari kesulitan. Kita tidak boleh salah langkah dan salah memilih jalan. Zul-Rohmi harus benar-benar bisa menghadirkan optimisme, harapan dan memilih jalan yang tepat untuk keluar dari kesulitan. Masyarakat harus bisa diyakinkan. Kepercayaan masyarakat harus bisa dibangun dan dijaga. Ini benar-benar tidak sederhana.  Tidak sesederhana kata-kata. Mungkin juga tidak sesederhana yang saya tulis dalam tulisan ini.

Kepemimpinan  Zul-Rohmi dari awal  sarat  dinamika.  Saya tidak tahu, apa ruang dialog sengaja dibuka.  Gubernur hampir setiap hari muncul di Medsos. Berbicara tentang banyak hal. Pilihan itu boleh jadi sangat baik. Gubernur menjadi tidak berjarak dengan siapapun. Persoalannya, memilih jalan terbuka seperti itu harus menghitung banyak hal. Termasuk menghitung kecepatan  dan kemampuan mesin birokrasi mengeksekusi apa yang sudah disampaikan gubernur melalui Medsos.

Saya bukan tidak setuju gubernur aktif di Medsos. Apalagi tidak setuju gubernur memilih jalan terbuka.  Setuju saya. Silakan saja dengan pilihan tersebut. Yang penting, pilihan itu dikelola dengan benar.  Sebab jika tidak dikelola dengan benar, akibatnya bisa berantakan. Gubernur tidak menjadi dekat dengan masyarakat. Tetapi malah sebaliknya,  bisa menjadi ‘’jauh dan berjarak’’ dengan masyarakat.  Karena apa yang dikatakan di Medsos hanya menghadirkan kekecewaan.

Padahal melalui ruang dialog  tersebut diharapkan masyarakat bisa lebih memahami komitmen gubernur.  Dan gubernur bisa menyelami secara mendalam keinginan masyarakat. Sehingga kedekatan gubernur melalui Medsos menjadi kedekatan yang sebenarnya. Bukan kedekatan yang  tidak mengakar. Karena apa yang dikatakan pada semua kesempatan. Termasuk melalui Medsos bukanlah perkataan basa-basi. Tetapi perkataan yang diwujudkan. Perkataan yang membuat masyarakat meletakkan kedekatannya dengan gubernur pada hatinya.

Mungkin gubernur perlu selektif berbicara. Termasuk di Medsos. Tidak sekadar mengatakan. Pastikan dulu semua yang dikatakan bisa dieksekusi. Karena boleh jadi,  semua yang dikatakan gubernur tampak sederhana dan gampang dilaksanakan. Tetapi praktiknya, tidak sederhana karena terbentur aturan.  Sehingga gubernur bisa saja dianggap masyarakat  tidak serius dengan apa yang dikatakan. Padahal bukan tidak serius dan tidak sungguh-sungguh. OPD tidak bisa dan tidak berani melakukannya karena tidak ada anggarannya. Dan jika dilakukan bisa melanggar aturan dan melanggar hukum.

Hati-hati, cermat dan teliti itu sangat penting. Jika tidak hati-hati, cermat dan teliti akibatnya berat. Gubernur bisa rugi sendiri. Gubernur bisa dikritik dan dianggap bohong oleh banyak orang. Yang saya khawatirkan, sebagai manusia biasa, gubernur bisa saja kehilangan daya tahan ketika mendapatkan tekanan dan kritik yang keras dan tajam. Apalagi jika kritiknya tidak intelek dan melampaui batas-batas kesopanan. Orang bicara di Medsos bisa saja suka-suka. Yang tidak cukup ilmu dan pengetahuannya  bisa bicara. Celakanya, ngotot pula dengan pendapatnya. Kasihan sebenarnya. Tetapi faktanya, kadang-kadang ada yang  seperti itu.

Psikologi orang  dalam tekanan itu bisa tidak stabil. Orang bisa saja bereaksi di luar kontrol. Reaksinya bisa melebar ke mana-mana.  Misalnya,  OPD ditegur keras dan terbuka. Karena dinilai tidak bisa kerja.  OPD menjadi kehilangan semangat dan tertekan. Padahal ada karya besar yang ingin kita lahirkan.  Mudah-mudahan gubernur tidak pernah seperti itu. Akibatnya, tidak menguntungkan.

Mungkin yang bisa dilakukan adalah  membangun tradisi diskusi dan tradisi intelektual. Tujuannya, agar pemahaman  dan konstruksi berpikir semua OPD dan lingkaran yang ada di sekitar gubernur dan wakil gubernur sama.  Semuanya bergerak cepat dan segera mengambil inisiatif ketika ada keputusan gubernur dan wakil gubernur.  Tidak diam dan membiarkan gubernur dan wakli gubernur bekerja sendiri.  Apalagi yang berkaitan dengan keputusan-keputusan penting dan berdampak luas kepada masyarakat.  Paling tidak, bisa segera mendiskusikan dengan gubernur dan wakil gubernur untuk mencari jalan keluarnya.  Sehingga masyarakat tidak salah mengerti dengan yang dilakukan gubernur dan wakil gubernur.

Membangun tradisi seperti itu gampang-gampang susah. Karena ini berkaitan juga dengan habit orang. Tetapi saya percaya, gubernur dan wakil gubernur tidak mungkin keliru memilih lingkarannya. Lingkaran mereka pastilah orang-orang  pilihan dan hebat yang tradisi diskusi dan intelektualnya sangat kuat. Dan kehadiran mereka benar-benar sangat membantu gubernur dan wakli gubernur. Sehingga gubernur dan wakil gubernur tidak keliru mengambil keputusan.

                                                              ***

Sepanjang kepemimpinan Zul-Rohmi yang sudah berjalan sekitar 1,7 tahun ini, banyak yang menarik terjadi. Orang memuji dan mengkritik juga banyak. Ada yang menyebutkan kepemimpinan mereka bagus dan hebat. Mimpinya besar dan cita-citanya tentang masa depan NTB banyak.  Tetapi ada juga yang melihat bahwa karya mereka belum ada yang nampak. Masih sebatas mimpi dan cita-cita. Meski sebenarnya sudah ada yang mulai kelihatan hasilnya. Misalnya, sudah ada anak-anak NTB yang diberi beasiswa untuk belajar ke luar negeri. Termasuk program industrialisasi dan zero westejuga sudah mulai bergerak.

Kritik terhadap kepemimpinan Zul-Rohmi perlu dan penting. Mimpi dan cita-cita mereka yang besar itu harus dikawal. Jangan sampai kehilangan fokus. Apalagi mimpi dan cita-citanya banyak. Khawatirnya, kita menginginkan semuanya berhasil. Tetapi semuanya bisa tidak berhasil.  Kita ingin dapat  banyak. Tetapi semuanya kita tidak dapat.

Maksudnya, mungkin  penting dipertimbangkan untuk memilih satu dua program yang benar-benar menjadi prioritas.  Program itulah yang betul-betul diurus. Syukur-syukur kalau program tersebut bisa menjadi “pintu masuk” untuk menuntaskan banyak persoalan. Katakanlah program industrialisasi. Program ini bisa menggerakkan  ekonomi, mengurangi pengangguran dan menurunkan angka kemiskinan.

Bukan berarti mempunyai program banyak itu tidak boleh. Boleh saja. Hanya saja harus dipastikan bahwa program-program  tersebut bisa dikerjakan dengan baik. Jika misalnya, untuk mengerjakan program yang banyak itu tidak bisa maksimal karena  kita memiliki keterbatasan. Pilih yang memungkinkan bisa menonjol.  Tidak usah dipaksakan  semuanya harus menonjol keberhasilan dan kehebatannya. Kecuali kita tidak memiliki keterbatasan mengerjakan semuanya. Kalau kita tidak memiliki keterbatasan dan sanggup mengerjakan dengan maksimal. Baguslah. Tetapi kalau tidak? Kepemimpinan itu ada batas waktunya.  Artinya, Zul-Rohmi berkejaran juga dengan waktu untuk menghadirkan karyanya sesuai dengan mimpi dan cita-citanya.

Apalagi dengan munculnya Covid-19. Pasti menyita banyak energi. Dampaknya sangat mungkin mengganggu pelaksanaan semua program. Tetapi apa pun yang terjadi,  tidak boleh dijadikan alasan pembenar kegagalan program. Program yang menjadi mimpi dan cita-cita Zul-Rohmi harus berhasil. Dia tidak boleh seperti “debu di atas batu”. Pernah ada. Tetapi hilang tanpa bekas ketika disapu angin.  Dan semuanya hanya menjadi mimpi dan cita-cita. Semuanya hanya sebatas cerita tentang keindahan tanpa ada wujudnya.

***



Menyingkap Tabir Menguak Fakta