POTRET, Jawara Post—–USIA boleh tua, tapi semangat untuk bertahan hidup tetap muda. Mistiyah, nenek berusia 70 tahun masih semangat bekerja meski hanya sebagai penjual sapu lidi keliling. Hampir setiap hari, nenek asal Dusun Kertosari, Desa Pendarungan, Kecamatan Kabat ini berkeliling belasan kilometer demi menghidupi suami dan cucunya.

Mendes PDDT meminta pihak desa untuk fokus menggunakan dana desa tahun depan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat desa.
Nenek Mistiyah tinggal di tengah perkampungan di Dusun Kertosari, Desa Pendarungan, Kecamatan Kabat. Kulitnya sudah keriput, rambutnya beruban. Pandangan matanya juga sudah tak normal lagi.
Di usianya yang sudah tua renta itu, Mistiyah masih harus tetap hidup yang tak sekadar hidup. Betapa tidak, perempuan tua ini masih harus merawat suami, serta menanggung biaya hidup dan sekolah cucunya, Siti Aisyah, 16, yang kini masih bersekolah sekolah menengah atas (SMA).
Di hari tuanya, Mistiyah masih harus bekerja dan memikirkan kehidupan Ridoi suaminya yang kini terbaring dalam kondisi sakit tak berdaya. Ridoi suaminya menderita sakit stroke sejak 3,5 tahun silam.
”Suami saya sudah tidak bisa bekerja, hanya tiduran di atas ranjang,” ungkapnya menggunakan bahasa Oseng.
Parahnya lagi, Mistiyah masih mempunyai beban dengan menghidupi cucunya yang telah sejak kecil ditinggal oleh kedua orang tuanya. ”Ayah ibunya sudah meninggal dunia. Jadi sejak kecil saya momong hingga besar saat ini,” ujar Mistiyah.
Padahal, untuk sekadar mencari sesuap nasi dan menyambung hidup, Mistiyah hanya pekerja sebagai pedagang sapu lidi keliling. Sapu lidi tersebut bukan miliknya, melainkan menjualkan milik tetangga rumahnya yang sebagian besar adalah perajin sapu lidi.
Jualan sapu lidi tidak dilakukan setiap hari. Paling dalam sepekan hanya dua hingga tiga kali. Maklum saja, para perajin yang membuat sapu lidi tidak setiap hari selalu ada. Harus menunggu, hingga stok sapu lidi benar-benar banyak.
Dalam sekali berjualan keliling, dia bisa membawa hingga 35 ikat sapu lidi. Sapu lidi yang dibawanya cukup diikat dan diletakkan di atas kepalanya. Sembari terus berjalan kaki dan membawa sapu lidi, Mistiyah menyusuri jalan raya hingga ke daerah kelurahan Banjarsari, Boyolangu hingga Kelurahan Penataban, Kecamatan Giri.
Bahkan, jika masih tidak laku terjual di juga berkeliling dari Kelurahan Banjarsari melewati Bakungan, hingga sampai ke Pakis dan kembali lagi ke Pendarungan. ”Jika ramai, kadang setelah salat Duhur sudah habis. Kadang juga sampai sore hari baru habis. Pokoknya tidak ada yang saya bawa pulang lagi,” jelas Mistiyah.
Harga satu ikat sapu lidi tersebut dia jual sebesar Rp 5 ribu. Dia hanya mendapatkan upah Rp 3 ribu per ikatnya. Selama seharian keliling berjualan sapu lidi itu, dia bisa membawa pulang uang sebesar Rp 100 ribu.
Uang sebanyak itu hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Belum lagi uang saku cucunya yang setiap hari harus pulang pergi sekolah. Cucunya menempuh pendidikan di SMA Sirojul Hasan, di Dusun Gontoran, Desa Rejosari, Kecamatan Glagah. Jaraknya lumayan jauh. Sekitar 3 kilometer perjalanan dari rumahnya.
Yang membuatnya susah, untuk hanya sekadar berangkat ke sekolah dan pulang sekolah, cucunya harus nunut ikut bonceng dengan tetangga rumahnya yang kebetulan bepergian.
Terkadang juga ikut dengan teman-teman sekampung yang bersamaan satu sekolah. Jika tidak ada yang memboncengkan, dia terpaksa harus menyuruh ojek untuk mengantarkannya ke sekolah.
”Kalau pulang sekolah masih bisa ikut dengan teman-temannya,” ungkap Mistiyah dengan suara lirih.
@red