PENERBANGAN, Jawara Post—Hari ini 22 tahun yang lalu, pesawat Garuda Indonesia jenis Airbus A300-B4 dengan nomor penerbangan GA 152 jatuh terbakar di Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara sekitar pukul 13.18 WIB.
Sejumlah media, pada 27 September 1997 memberitakan, seluruh penumpang yang terdiri dari 222 penumpang dan 12 awak pesawat meninggal akibat kecelakaan itu.
Direktur Utama Garuda Soepandi dalam keterangan persnya menyebutkan, pesawat yang dipiloti Capt. Rachmo Wiyogo (40) meninggalkan Bandara Cengkareng pada pukul 11.30 WIB. Pesawat dengan nomor penerbangan GA 152 tersebut dijadwalkan akan tiba di Bandara Polonia, Medan pukul 13.58 WIB.
Namun, sekitar 30 kilometer dari Bandara Polonia, pesawat tersebut jatuh di tanah datar dan perbukitan, di dekat perkampungan. Tidak sedikit pun bagian pesawat yang masih utuh. Semuanya hancur berkeping-keping dan hangus terbakar. Seluruh isi pesawat bercampur aduk dengan potongan tubuh manusia.
Bagi Garuda, kecelakaan jenis A300-B4 merupakan yang pertama kalinya. Kecelakaan ini juga menjadi kecelakaan pesawat terburuk di Tanah Air, setidaknya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Baca juga: Berkaca dari Kecelakaan Purbaleunyi, Ini Cara Atasi Rem Blong Kesaksian Warga Penduduk Desa Buah Nabar, Sarin br Bukit (42) mengaku terkejut dengan kejadian tersebut.
“Mula-mula saya mendengar suara pesawat, rasanya dekat sekali sampai hampir memekakkan telinga. Tapi saya tidak melihat di mana pesawatnya,” kata Sarin.
“Ketika keluar dari gubuk di ladang, tiba-tiba saya terkejut dengan suara ledakan dan terlihat moncong pesawat besar sekali mengarah kepada saya. Saking takutnya, saya menjerit minta tolong dan berlari sekuat-kuatnya,” lanjutnya.
Menurut Sarin, ia mendengar lagi suara ledakan keras berulang-berulang yang tidak dapat dihitungnya berapa kali. Ledakan itu diselingi suara benturan badan pesawat dengan pohon besar sebelum pecah berkeping-keping. Setelah itu, ia melihat api membumbung tinggi.
Siang Ketaren (55) warga Dusun V, Desa Sembahe juga memberikan kesaksian serupa dengan Sarin. Saat kejadian, ia sedang bersama 10 temannya yang duduk-duduk di warung kopi. Meski tidak melihat pesawat, mereka terkejut ketika mendengar suara ledakan sangat keras dan diikuti ledakan keras berikutnya berkali-kali.
“Kami berlari ke lokasi jatuhnya pesawat itu. Sesampainya di sana yang kami lihat hanya api yang masih berkobar. Setelah itu kami mengutus Pilot Purba untuk melapor ke Polsek,” ungkapnya.
Kengerian kecelakaan itu juga disaksikan oleh petugas SAR saat mengevakuasi korban. Sesekali mereka mengekspresikan kengeriannya. Terkadang mereka meringis saat harus mengumpulkan potongan tubuh yang bergelimang darah. Hampir seluruh mayat yang ditemukan tidak ada yang utuh.
Investigasi awak media pada 5 Oktober 1997 dikumpulkan lalu memberitakan, kejadian nahas tersebut kemungkinan tidak terjadi apabila pilot menolak perintah petugas menara ATC.
Sebelumnya, petugas ATC memerintahkan pilot untuk menurunkan ketinggian dan tidak membelokkan pesawat. Harian Kompas, 22 Oktober 1997 memberitakan, Kotak hitam CVR (Cockpit Voice Reader) dan FDR (Flight Data Recorder ditemukan pada 21 Oktober pada kedalaman yang sama berjarak 10-15 meter dengan letak ekor jatuhnya pesawat. Investigasi kecelakaan Garuda GA-152 itu pun selesai pada 8 November 1999.
Ketua AAIC (Aircraft Accident Investigation Committee), Prof Oetarjo Diran menuturkan bahwa kecelakaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh banyak faktor. Namun, ia tidak memberikan lebih lanjut terkait penyebab pastinya
Ahmad Naufal Dzulfaroh