MADURA, Jawara Post– Hampir 200 desa di Pulau Madura, Jawa Timur, mengalami kekeringan. Kekeringan yang hampir setiap musim kemarau itu, menyebabkan ribuan warga kesulitan mendapatkan air bersih.
Berdasar data di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), desa-desa yang dilanda kekeringan itu meliputi 42 desa di Kabupaten Sampang, 80 desa di Kabupaten Pamekasan dan Sumenep 42 desa serta 64 desa lain di Kabupaten Bangkalan.
Selama ini, penanganan dampak kekeringan masih mendandalkan program penanggulangan bencana dari pemerintah setempat, berupa bantuan air bersih yang didistribusikan ke titik-titik strategis yang memungkinkan dijangkau warga sekitar.
Mekanismenya, harus melalui permintaan ke pemerintahan desa yang diteruskan ke BPBD di masing-masing kabupaten. Itupun, air bersih tidak bisa serta-merta didistribusikan, karena sebagai instansi pemerintah, BPBD juga harus mengikuti mekanisme yang sudah diatur.
Belum lagi, jika BPBD tidak memiliki anggaran untuk bantuan air bersih tersebut, dan harus menunggu program bantuan dari pemerintah provinsi, seperti yang terjadi di Kabupaten Sampang.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sampang, Anang Joenaidi menyatakan, pihaknya masih belum bisa berbuat banyak sebelum ada surat balasan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur karena tidak adanya anggaran bantuan air bersih.
Hal yang sama juga terjadi di Kabupaten Pamekasan. Pengiriman air bersih dari program penanggulangan dampak kekeringan baru bisa dilaksanakan awal Agustus, meski kekeringan di sejumlah desa sudah terjadi sejak akhir Juni lalu.
BPBD Pamekasan masih harus mengajukan surat kepada Penjabat Bupati (Pj) Bupati setempat, agar diterbitkan Surat Keputusan (SK) tentang daerah kering. SK tersebut akan menjadi landasan hukum untuk pendistribusian air ke kawasan yang dilanda kekeringan.
“Kalau administrasinya selesai, Insya Allah awal Agustus ini kami distribusikan air bersih ke beberapa desa yang terdampak kekeringan,” kata Kepala BPBD Pamekasan, Akmalul Firdaus.
Koordinator Ikatan Pendamping Masyarakat Desa Jawa Timur, Suryo Adi Wibowo, mengatakan penanganan dampak kekeringan semestinya bisa dilakukan secara mandiri oleh masyarakat dan tidak harus menunggu penyaluran bantuan dari pemerintah.
Masyarakat, kata Suryo Adi, memiliki potensi yang bisa digunakan untuk menangani masalah kekeringan itu melalui program mandiri di tingkat desa dengan menggnakan Dana Desa (DD) atau Alokasi Dana Desa (ADD).
“Selama ini, masyarakat kita belum mendapatkan pemahaman yang utuh tentang dua program pemerintah itu. Seharusnya, sejak adanya DD dan ADD, masyarakat sudah mulai mengurangi ketergantungan mereka pada program pemerintah dalam mengatasi masalah mereka termasuk dalam kasus kekeringan,” kata Suryo Adi, kepada koranmadura.com, melalui sambungan telepon.
DD dan ADD, jelas mantan pendamping salah satu program pemberdayaan masyarakat itu, disediakan pemerintah sebagai sarana otonomi desa dan meningkatkan kemandirian masyarakat.
Dua program tersebut, seharusnya dimanfaatkan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di desa, bukan hanya membangun sarana jalan dan sarana lainnya, melainkan juga untuk penyediaan sarana air bersih.
Ia menjelaskan, secara umum, penggunaan DD dan ADD bisa digunakan untuk empat bidang, yakni Pemerintahan Desa, Pembangunan Desa, Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Pembinaan Kemasyarakatan Desa.
Peda bidang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa, bisa diwujudkan dengan pengelolaan sarana air bersih, sehingga saat terjadi kemarau, warga desa tidak lagi bergantung pada program pemerintah, melainkan sudah bisa melaksanakan program secara mandiri.
Unsur pemberdayaan dalam program mandiri itu, masyarakat bisa membentuk semacam kelompok keswadayaan masyarakat (KSM) yang mengelola sarana air bersih itu. “Mereka mengelola sendiri dengan mekanisme yang disepakati sendiri oleh masyarakat,” jelasnya.
Lemah di Bidang Perencanaan
Suryo Adi mengatakan tidak adanya program penanggulangan dampak kekeringan di hampir semua desa di Madura itu, disebabkan karena lemahnya proses perencanaan. Sehingga, masalah kekeringan tidak masuk dalam kajian saat penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa).
“Kalau masalah itu muncul di kajian masalah, pasti akan muncul juga di program. Kalau di masalah muncul tapi di program tidak ada, maka proses penyusunan RPJMDesa-nya perlu dipertanyakan,” kata ayah dua orang anak itu menjelaskan.
Ia melihat ada dua faktor yang menyebabkan penanggulangan kekeringan tidak masuk dalam RPJMDesa. Yang pertama karena pemahaman yang kurang tentang fungsi program DD dan ADD serta masih dominannya pengaruh pimpinan pemerintahan desa dalam menentukan program di desa.
“Tapi semuanya berpangkal pada proses sosialisasi yang dilakukan oleh pendamping. Jika sosialisasinya kuat, maka kedua faktor itu bisa diminimalisir,” jelasnya.
Ia meminta agar pendamping desa lebih memperkuat proses sosialisasi, sehingga tujuan pemerintah untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat melalui DD dan ADD bisa tercapai.
Selain itu, seharusnya pemerintah melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) melakukan monitoring pada saat Musrenbang Desa, terutama di wilayah-wilayah memiliki masalah kekeringan untuk memastikan program yang diprioritaskan benar-benar berkaitan dengna masalah utama masyarakat di desa.
“Dengan adanya DD dan ADD, semestinya masalah kekeringan bukan lagi menjadi tanggungjawab pemerintah, melainkan tanggungjawab masyarakat melalui fasillitasi pemerintahan di desa,” katanya.
@g mujtaba