Oleh : Redaksi NN – Jawara Post
Orang Madura, terutama laki-laki Madura, terkenal dengan budaya, tradisi atau kebiasaan yang lekat dengan Carok dan Celurit. Carok dan Celurit juga adalah simbol dari kejantanan dan keberanian laki-laki Madura dalam menjaga dan merawat harga diri.
Carok dan Celurit juga adalah simbolisasi atau eksistensi dari sebuah harga diri laki-laki Madura. Hanya terkadang, bahwa aksi Carok dan Celurit, bukan saja bertolak dari sebuah perlindungan akan harga diri dan martabat laki-laki Madura, tetapi bisa hanya karena masalah ketersinggungan psikologis.
Tetapi, di situlah manusia yang ada human errornya, yang dipicu oleh perasaan yang serba sensi, atau karena kelemahan psikologis yang berangkat dari segala persoalan hidup yang serba rumit,
Penulis tidak memperlebar permasalahan itu, karena sesuai dengan judul di atas, hanya lebih berkutat pada kisah sejarawi lahirnya budaya Carok dan Celurit dalam suku Madura.
PADA zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris.
Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.
Lantas apa hubungannya dengan carok?Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Mungkin ini hampir mirip dengan di suku Bugis yang dikenal dengan budaya perkelahian dalam selimut. Untuk budaya perkelahian dalam selimut bagi suku Bugis sudah edotor paparkan di Netralnews.
Perkelahian dalam budaya Carok atau Celurit, biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar. Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.
Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut.
Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam. Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.
Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan Carok.
Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.
Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di mana pun di luar Madura, selalu diselesaikan dengan jalan Carok perorangan maupun secara massal.
Senjata yang digunakan selalu Celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan Celurit. Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat di luar Madura melabelkan orang Madura suka Carok dan aksi Celurit.
Padahal, sebenarnya masyarakat Madura memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bertengkar, tidak selamanya menyelesaikan masalah dengan Carok dan Celurit .
Netral/redJp