DEVIDENDS , Jawara Post—Telah tiga tahun sejak diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan yang memberikan izin ekspor raw metarial padahal sejak 12 Januari 2014 ekspor raw material ini dilarang oleh UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba (UU Minerba), nasib kewajiban pembangunan hilirisasi mineral masih tarsandera.
Padahal Peraturan Pemerintah yang dioperasionalisasikan dengan Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 ini memberikan tambahan waktu kepada pelaku usaha selama tiga tahun, yang sebelumnya melalui Pasal 170 UU MINERBAbagi Kontrak Karya diberikan jangka waktu lima tahun sampai dengan 12 Januari 2014, serta lima tahun bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) hasil penyesuaian Kuasa Pertambangan dan Surat Izin Pertambangan Daerah yang terbit sebelum UU Minerba selama lima tahun sejak UU Minerba diundangakan sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (4) huruf c PP No 23 Tahun 2010 sebagaimana telah beberapa diganti terakhir dengan PP No. 77 Tahun 2014. Sudah hampir delapan tahun perusahaan pertambangan diberikan kesempatan, namun pelaksanaannya ibarat kauh panggang dari api.
Siapa yang salah? Pemerintah yang tidak becus melakukan pembinaan dan pengawasan selama delapan tahun ini kepada perusahaan sehingga kewajiban ini tidak dapat dijalankan? atau memang niat baik dari perusahaan yang tidak mau melakukan hilirisasi minetal yang merupakan mekanisme peningkatan nilai tambah prosuk tambang di dalam negeri?
Kebijakan hilirisasi melalui pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri mineral tidak dapat dimaknai hanya sebatas larangan ekspor mineral mentah (raw metarial) atau hasil tambang olahan (konsentrat) yang bukan merupakan bisnis jual beli tanah air Indonesia, namun ia juga merupakan upaya melindungi sumber daya alam Indonesia di masa sekarang dan masa mendatang melalui mekanisme peningkatan nilai tambagng hasil tambang. Hal ini juga dipertegas oleh Mahkamah Konstutitusi dalam Putusan Nomor 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa bahwa kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 karena kewajiban ini secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lalu bagaimana kepastian hukum apabaila hingga pemberian waktu tambahan sampai dengan 2017, pemegang KK dan IUP tidak mampu membangun smelter? Apakah akan terjadi permasalahan hukum sehingga berdampak pada masalah sosial, politik, dan ekonomi?
Konstruksi Hukum?
Ketentuan-ketentuan terkait kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian mineral di dalam negeri, meliputi, pertama Pasal 102 dan Pasal 103 yang intinya mengatur bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. Kedua, Pasal 170 UU Minerba yang mengatur bahwa pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak UU Minerba ini diundangkan (12 Januari 2014).
Ketiga, Pasal 112 huruf a dan c PP No. 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang mengatur Kuasa pertambangan, surat izin pertambangan daerah, dan surat izin pertambangan rakyat, yang diberikan sebelum ditetapkannya PP No. 23 Tahun 2010 tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhir serta wajib disesuaikan menjadi IUP dan wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Keempat, Pasal 112C PP No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua PP No. 23 Tahun 2014 yang mengatur (1) Pemegang kontrak karya wajib melakukan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; (2) Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 angka 4 huruf a PP No. 23 Tahun 2010 (IUP hasil penyesuaian Kuasa pertambangan dan surat izin pertambangan daerah) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri; (3) Pemegang kontrak karya yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pemurnian, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu; (4) Pemegang IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambangan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri dalam jumlah tertentu; (5) Ketentuan lebih lanjut Mengenai pelaksanaan pengolahan dan pemurnian serta batasan minimum pengolahan dan pemurnian diatur dengan Peraturan Menteri.
Akibat Hukum
Berbagai ketentuan di atas, melahirkan beberapa akibat hukum yaitu pertama, terdapat tiga subjek hukum yang dikenai kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri, yaitu: (1) Pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi yang izinnya diterbitkan setelah UU Minerba (Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba); (2) Pemegang Kontrak Karya yang sudah berproduksi (Pasal 170 UU Minerba); dan (3) IUP hasil perubahan Kuasa pertambangan dan Surat Izin Pertambangan Daerah (Pasal 112 huruf a dan huruf c PP No. 23 Tahun 2010).
Kedua, terhadap tiga subjek hukum ini terdapat perlakuan hukum yang berbeda-beda: yaitu (1) Pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi yang izinnya diterbitkan setelah UU Minerba maka ketika tahap operasi produksi kewajiban mengolah dan memurnikan di dalam negeri (Pasal 102 dan Pasal 103, serta Putusan MK No. 10/PUU-XII/2014); (2) Pemegang KK diwajibkan memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri sejak 12 Januari 2014 (Pasal 170 UU Minerba); (3) Pemegang IUP hasil perubahan KP dan SIPD diwajibkan mengolah dan memurnikan hasil tambangnya di dalam negeri sejak 12 Januari 2014 (Pasal 112 huruf a dan huruf c PP No. 23 Tahun 2010). Ketiga, secara normatif, sejak 12 Januari 2014 tidak ada eskpor hasil tambang yang belum diolah dan dimurnikan (raw material) di dalam negeri.
Namun, melalui Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 perusahaan pertambangan diberikan waktu sampai dengan 12 Januari 2014 untuk melakukan pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri dan dikenai bea keluar sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6 /PMK.11/2014 yang telah diubah beberapa kali. Sehingga, apabila sampai 12 Januari 2017 tidak ada kepastian hukum mengenai kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian maka akan ada kekosongan hukum. Tentu tidak hanya menjadi persoalan hukum, tetapi juga politik, sosial, dan ekonomi.
Pilihan Hukum
Pertama, tidak perlu lagi dibuatkan patung hukum baru. Artinya secara tegas dinyatakan bahwa setiap perusahaan pertambangan yang belum melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dengan membangun smelter maka dilarang mengekspor hasil tambangnya. Ketentuan UU Minerba ditegakkan sebagaimana mestinya. Kelebihan pilihan hukum ini ialah konsistensi Pemerintah terhadap hukumnya ada. Pemerintah taat terhadap UU Minerba sehingga kedauakatan hukum terjaga. Namun, kelemahannya ialah maka akan terjadi stop produksi besar-besaran yang akan mempengaruhi penerimanan negara, lay off besar-besaran tenega kerja, serta ancamana arbitrase dari pemegang Kontrak Karya yang tidak puas dengan kebijakan larangan ekspor ini.
Kedua, Perubahan Keempat Peraturan Pemerintah PP No. 23 Tahun 2010. Kelebihan pilihan hukum ini yaitu Peraturan Pemerintah dapat dibentuk secara cepat dan taktis karena merupakan kewenangan mutlak Presiden secara atributif (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945). Selain itu, Peraturan Pemerintah dapat memberikan kepastian hukum tentang kebutuhan hukum yang perlu diatur. Kepastian hukum ini akan terus berlanjut selama ketentuannya tidak dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Namun, kelemahannya yaitu apabila pengaturannya berbeda dengan UU Minerba, akan rentan diuji materiil ke Mahkamah Agung karena dapat secara kasat mata dianggap bertentangan dengan UU Minerba.
Selain itu juga, bahwa pengaturan dalam UU Minerba sudah sangat jelas dan tidak dapat ditafsirkan lain bahwa setelah 12 Januari 2014 semua pemegang KK dan IUP (hasil penyesuaian KP dan SIPD) wajib melakukan pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri serta bagi pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi yang diterbitkan setelah UU Minerba harus melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri ketika tahap operasi produksi. Artinya apabila diterbitkan PP yang mengatur berbeda dari ketentuan itu, maka dapat dianggap bertentangan dengan UU Minerba.
Kelemahan lainnya yaitu saat ini melalui PP No. 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 yang memberikan waktu tambahan pembangunan smelter sampai dengan 2017, DPR RI dan masyarakat pertambangan menganggap Pemerintah melanggar hukum, sehingga ketika diterbitkan PP baru maka akan menimbulkan gejolak politik dan sosial baru yang cenderung membahayakan Presiden karena akan dianggap kembali melanggar UU Minerba.
Ketiga, Perubahan UU Minerba. Kelebihan pilihan hukum ini yaitu dapat mendesain ulang pengaturan kewajiban pengolahan dan/atau pemurnian di dalam negeri karena perubahan UU memiliki tingkat akobrasi yang tinggi dan luas. Apabila Pemerintah dan DPR ingin memberikan relaksasi dengan jangka waktu tertentu serta pembebanan kewajiban baru misal pengenaan bea keluar maka itu telah sesuai sebagai materi muatan undang-undang.
Risiko politik dan sosial pun cenderung lebih ringan karena disepakati secara politik dan hukum di DPR RI. Perubahan UU Minerba pun dapat pula menyelesaikan hal-hal yang saat ini menjadi masalah yaitu: persoalan konflik norma dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, pelaksanaan putusan MK, serta pemenuhan kebutuhan hukum baru, misal mengenai perizinan batuan, kewenangan pengawasan. Namun, opsi ini juga memiliki kekurangan yaitu waktu pembentukan yang lama dan berbelit-belit sehingga tidak ada jaminan untuk secara cepat menjawab persoalan Januari 2017.
Keempat, pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kelebihan opsi ini ialah pembentukan Perppu merupakan hak preogratif Presiden. Materi muatannya pun sama seperti undang-undang sehingga akrobasi pengaturannya pun sangat luas sehingga melalui Perppu dapat memberikan kepastian hukum dan mencegah gejolak hukum pada Januari 2017. Perppu pun dapat pula menyelesaikan hal-hal yang saat ini menjadi masalah yaitu: persoalan konflik norma dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, pelaksanaan putusan MK, serta pemenuhan kebutuhan hukum baru, misal mengenai perizinan batuan.
Namun, kelemahannya antara lain Perppu dibentuk karena adanya “Kegentingan Memaksa” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 sehigga perlu argumentasi hukum yang kuat didukung data-data teknik dan ekonomi agar “kegentingan memaksa” dapat dibenarkan. Selain itu, Perppu harus disampaikan ke DPR RI untuk mendapatkan persetujuan. Hal ini dapat menjadi komodifikasi politik untuk melemahkan Presiden.
Akhirnya, silahkan Pemerintah memilih berbagai aternatif pilihan hukum di atas. Namun, prinsip bahwa kewajiban pengoahan dan pemurnian di dalam negeri merupakan bentuk peningkatan nilai tambah bagi mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Semoga, potensi kekacauan pada 12 Januari 2014 dapat segera dicarikan solusi hukumnya.
@redaksi