PT JAWARA POS GRUP

SELAMAT & SUKSES RI 1

AKHIR DAN AWAL KISAH AMIRUDIN, SANG PENJALAN KAKI DARI MEDAN KE BANYUWANGI

Oleh : M Yusub Bharata Yuda

Dimensi (sisi) manusia itu sangat kompleks (rumit).
Menuliskan dimensi dan kisah kehidupan anak manusia niscaya tidak akan pernah berakhir. Bergantung dari sisi dan bagaimana cara memandangnya.
***
Baru-baru ini jagat Indonesia dihebohkan oleh viralnya sosok Amir yang berjalan kaki dari Medan (Sumatera) ke Banyuwangi (Jawa) untuk menunaikan nadzar sebagai cara menunjukkan bakti kepada orang-tuanya. Nadzarnya, apabila sembuh dari lumpuh, akan berjalan kaki menemui ibudanya di Banyuwangi.

Kisah Amirudin ini telah menyingkap beragam sisi manusia (pikiran, sikap, perilaku dan perbuatan) dengan segala pergeserannya.

Siapa yang tidak tersentuh hatinya menyaksikan kisah Amirudin demi berbakti kepada orang-tua rela berjalan kaki ribuan kilometer?

Simpati dan empati banyak orang sudah barang tentu mengiringi perjalanannya.

Sepanjang jalan Amirudin bertemu dengan orang-orang yang tulus dan ikhlas membantunya. Sebaliknya juga bertemu para preman yang telah tega memalaknya. Para relawan menyediakan waktu mendampingi perjalanan Amirudin.

Hingga perjalanan “aksi jalan kaki” itu pun menimbulkan kemacetan di Jalan Raya. Sebab ribuan orang menyambutnya dan ingin mengabadikan (selfi) bersama Amirudin.

Polisi lalu lintas dibuat sibuk mengatur lalu lalang kendaraan dan orang. Bahkan tokoh masyarakat pun tergerak menyambut dan berusaha memudahkan perjalanan Amirudin dalam rangka memenuhi nadzarnya.

Fakta-fakta di atas (jalan kaki, sambutan tokoh dan masyarakat, macetnya jalan raya dan lain-lain terkait Amirudin) telah menciptakan bermacam sisi bagaimana memahami hidup dan kehidupan manusia sebagai realitas sosial.

Satu fakta berjuta makna. Realitas sosial pun tercipta. Sebelumnya ¬simpati/empati berubah dratis sesudah -ketahuan aksi modus- menjadi antipati.

Semula haru menjadi pilu. Setelah sayang ingin mengganyang. Cinta menjadi benci. Rindu berubah dendam. Begitulah cinta bila dikhianati. Maka, jangan sekali-kali mengkhiati cinta.

Kebohongan Amirudin adalah fakta.

Adapun memaknai kebohongan (tertipu atau merasa tidak tertipu) berbeda antara seseorang atau sekelompok orang dengan seseorang atau sekelompok orang lainya, itulah realitas sosialnya.

Banyak orang yang mengetahui dan menyadari bahwa dirinya sudah pasti dibohongi, kadang masih siap tetap membantu. Ikhlas dan gampang mema’afkan. Apalagi kalau tidak tahu sedang dibohongi. Spontan pasti membantunya.

Begitu pula masyarakat Probolinggo yang selalu bisa spontan membantu sesama. Jika ingin membuktikan datanglah.

Cukup bermodal modus, seperti mengaku musafir, mua’laf atau kalau berani mengaku-ngaku sekalian sebagai habaib, kemudian menceritakan kehabisan bekal atau kesulitan ekonomi dalam perjalanan, Anda akan dibantu. Asal tidak lebih dari tiga kali dalam waktu yang berdekatan, Anda tetap dibantu. Meskipun lebih dari tiga kali, asal dalam waktu yang lama, Anda tetap dibantu.

Mengapa harus tiga kali. Karena membiarkan dibohongi sebanyak tiga kali dengan cara yang sama, masih dipercaya, itu artinya tidak mendidik dan menjerumuskan bagi yang lain. Apalagi membiarkan berpuluh-puluh janji tidak dipenuhi, kemudian masih mempercayainya, itu artinya “membiarkan kedunguan” terus terjadi. Tidak ada keledai terperangkap masuk pada lubang yang sama.

Kedunguan yang terus-menerus terjadi di masyarakat, apabila tidak ada pihak yang menyadarkannya, situasi semacam ini akan membawa pada realitas sosial “masyarakat yang siap digiring ketempat penjagalan”.
***

Perilaku manusia itu pada dasarnya seperti cermin, bisa saling memantul satu sama lainnya.

Sebaiknya hati-hati jika membenci sesuatu. Tunggu dulu.
Adakalanya “apa yang tidak disukai tentang seseorang, sesungguhnya bisa jadi (cermin) bagian dari sisi dirimu sendiri yang sedang kamu disembunyikan”. Buruk rupa cermin dibelah.

Kita sering menyaksikan aktor politik yang menunjukan sikap kebencian kepada aktor politik lainnya. Sesama politisi, ibarat sesama sopir saling mendahului. “Katakan tidak pada korupsi”. Tetapi setelah berkesempatan menjabat, justru dirinya yang terlibat. Rupanya yang dibenci bukan korupsinya, tetapi soal kesempatan yang belum dimilikinya.

Meski sudah jelas bahwa Amirudin telah mengakui kekhilafannya. Mengaku khilaf telah berbohong. Berbohong ada ibunda dan makam bapaknya di Banyuwangi. Berbohong pula soal nadzar setelah sembuh dari kakinya yang lumpuh. Namun rentetan “mantul-memantul” berbagai sisi perilaku manusia efek dari jalan kaki Amirudin masih riuh.

Hingga tulisan ini dibuat masil saling bersautan, pantul memantul dari sisi perilaku kita semua.

Semua ilmu sekolahan dan ilmu dari luar sekolah (apa yang ada dipikiran) bisa menjadikan kisah Amirudin (sebagai subyek) pembicaraannya. Baik yang ahli maupun yang awam, bisa tergoda untuk membahas dan memantulkan sisi kisah Jalan kakinya Amirudin. Masuk Pak Eko!

Banyak hikmah dibalik kisah viralnya Amirudin.
***
Viralnya Amirudin tidak lepas dari kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK).

Terbongkarnya kebohongan Amirudin juga berkah kecanggihan TIK.
Kemajuan TIK telah membuat jarak dan waktu tidak ada yang membatasi.

Jurnalis JAWARA POST, berusaha menguak fakta dari rekan se profesi. Affan mandor gansila jurnalis Medan sudah mengabarkan kebohongan aksi Amirudin. Berbarengan dengan itu,muncul bantahan bahwa kebohongan aksi Amirudin adalah hoax yang disebarkan oleh orang yang syirik (iri) atas aksi heroik Amirudin.

Banyak media baik cetak maupun on-line meliput kisah jalan kakinya Amirudin. Para nitizen (warga internet) juga merespons dan memberitakannya. Kemudian menjadi semakin viral.

Jurnalistik (pers dan persuratkabaran) kini sudah mulai banyak kehilangan independensinya. Terjebak pada industrialisasi yang memaksa mereka harus berpihak kepada pemilik modal. Lainnya berafilian pada kekuasaan.

Pers mengalami degradasi sebagai salah satu pilar demokrasi yang menginformasikan fakta dengan sebenarnya.

Akibatnya masyarakat tidak sepenuhnya bisa percayainya. Kemudian mencari sumber informasi alternatif lainnya. Salah satunya melalui medsos yang dilakukan oleh individu-individu.

Setiap individu bisa membuat berita. Celakanya setiap individu, banyak yang asal dalam membuat berita. Bukan soal benar atau tidaknya. Yang penting menarik dan bisa bikin heboh.

Berita sampah (hoax) pun berseliweran. Informasi yang masuk –tanpa ditelaah– langsung disebarkan kembali. Benar atau tidak, itu urusan belakang! Indonesia darurat Hoax, kata salah satu nitizen.

Ada juga nitizen yang memantulkan kisah Amirudin dengan politik. Disamakan dengan salah satu paslon. “Sudah benar-benar membangun, eh dibuatkan berita bohong, dipelintir demikian rupa, berupaya agar semua orang menganggap apa yang dilakukan salah”.

Nitizen yang ahli mengedit malah membuktikan cara mengedit tanggal posting pada facebook, ketika Qomang Udien memposting fakta pertemuannya dengan Amirudin pada tanggal 30 Juli 2018.

Ditinjau dari sisi agama: “setiap kabar yang diterima, dikabarkan kembali tanpa adanya tabayun terlebih dulu, orang yang mengabarkan kembali itu bisa termasuk kategori sebagai pendusta”. Dilarang pula mencari-cari kesalahan orang apalagi menuduh yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

Kisah Amirudin mengundang rasa penasaran bagi para pencari kebenaran. Mengundang sensasi bagi para pengejar berita viral. Bikin baper dan gagal move-on bagi yang terlanjur simpati, kemudian terbukti telah dibohongi. Sekaligus ujian bagi perbuatan yang ikhlas.

Perjalanan Amirudin adalah kisah perjalanan yang mantap betul (mantul), yang memantul pula pada sisi hidup dan kehidupan setiap manusia. Bergantung dari sisi dan bagaimana cara memandangnya. Hikmahnya pun berpulang pada diri masing-masing.

Selamat bercermin!



Menyingkap Tabir Menguak Fakta