Viral, Jawara Post
Ruangan itu memiliki fasilitas AC, TV layar datar, lemari pendingin, wastafel, kamar mandi yang dilengkapi shower dan pemanas air, serta toilet duduk. Meski mirip apartemen, namun ruangan itu sebenarnya adalah sel tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Seorang napi harus rela mengeluarkan biaya ratusan juta untuk bisa mendapatkan fasilitas penjara yang terhitung mewah itu. Salah satu napi diduga rela mengeluarkan banyak uang itu adalah Fahmi Darmawangsa.
Fahmi adalah Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia adalah narapidana korupsi untuk kasus suap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam proyek pengadaan satelit monitoring di Bakamla tahun 2016. Menurut Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat Fahmi terbukti menyuap pejabat Bakamla secara bertahap yakni Deputi Bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi sebesar SGD 100 ribu, USD 88.500, dan 10 ribu euro; serta Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Bakamla Bambang Udoyo sebesar SGD 105 ribu.
Fasilitas istimewa dalam penjara yang dinikmati Fahmi terhenti setelah tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (20/7) menyatroni selnya. KPK menciduk Fahmi karena diduga menyuap Kalapas Sukamiskin Wahidin Husein untuk mendapat fasilitas istimewa itu. Sebelum Fahmi diciduk, Wahidin memang sudah lebih dulu digenladang KPK dari kediamannya di Bojongsoang, Bandung, pada Jumat sekitar pukul 22.15 WIB.
Wakil KPK Laode M Syarif mengungkapkan tarif untuk mendapatkan fasilitas mewah dalam sel narapidana di Lapas Sukamiskin Bandung sekitar Rp200 juta sampai 500 juta.
“Ya itu salah satu yang sedang kami teliti berapa seseorang itu membayar. Dari informasi awal, informasi awal itu ada rentangnya. Ada sekitar Rp200-500 juta,” kata Laode saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (22/7) seperti diberitakan Antara.
Ragam Kasus Para Napi Korupsi di Lapas Sukamiskin
Fahmi bukan satu-satunya napi kasus korupsi yang menikmati fasilitas mewah di Sukamiskin. Sederet nama koruptor juga pernah merasakan nikmatnya fasilitas istimewa berupa jalan-jalan ke luar lapas. Siapa saja mereka?
Anggoro Widjojo
Pengadilan Tindak Pindana Korupsi memvonis adik dari Anggodo Widjojo ini lima tahun penjara dan denda Rp250.000.000 subsider dua bulan kurungan karena terbukti terlibat kasus korupsi proyek pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu Kementerian Kehutanan pada 2007. Pada 7 Februari 2017 Anggoro dipindah ke Lapas Gunung Sindur karena ketahuan sarapan di salah satu apartemen Kota Bandung yang lokasinya tidak jauh dari Lapas Sukamiskin. Ia diduga sempat tinggal di apartemen dalam statusnya sebagai tahanan.
Romi Herton
Mantan Walikota Palembang Romi Herton menerima vonis 7 tahun penjara dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena dinyatakan terbukti menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar untuk memenangi sengketa Pilkada 2013. Nilai suap yang diberikan Romi kepada Akil sebesar Rp11,3 miliar dan US$ 316 ribu melalui perantara bernama Muhtar Ependy. KPK pun mengeksekusi Romi ke Lapas Sukamiskin di Bandung pada Juli 2015.
Saat berstatus sebagai tahanan Sukamiskin Romi berulah. Ia menyalahgunakan dua izin yang diberikan pihak lapas. Izin pertama pada 28 November sampai 29 November 2016 saat Romi menjenguk anaknya yang sakit di Palembang, mestinya ia menginap di lapas setempat tapi ternyata tidak. Izin kedua 15 Desember 2016 saat ia menjalani pemeriksaan kesehatan di RS Hermina, bukannya langsung pulang Romi malah menginap di rumah kontrakan di Antapani.
Gara-gara itu Romi dipindah ke Lapas Gunung Sindur pada Februari 2017 menyusul Anggoro Widjojo.
Rachmat Yasin
Mantan Bupati Bogor Rachmat Yasin divonis penjara lima tahun enam bulan penjara terkait kasus suap tukar-menukar kawasan hutan PT Bukit Jonggol Asri sebesar Rp4,5 miliar. Ia juga didenda sebesar Rp300 juta atau subsider tiga bulan kurungan penjara dan hukuman tambahan pencabutan hak dipilih selama dua tahun. Saat menjadi tahanan Sukamiskin ia kepergok mengunjungi rumah kontrakan di Kompleks Panorama Alam Parahyangan pada Desember 2016.
Gayus Tambunan
Gayus Tambunan pernah bikin geger karena punya uang Rp25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya. Padahal Gayus hanya seorang pegawai di kantor Ditjen Pajak.
Ia divonis 29 tahun penjara oleh Mahkamah Agung untuk tiga kasus pidana. Pertama, kasus penggelapan pajak PT Megah Citra Raya. Kedua, kasus pemalsuan paspor. Ketiga kasus pencucian uang dan penyuapan penjaga tahanan.
Selain karena kasus korupsi, Gayus juga berulah saat menjadi tahanan. Gayus mulai menjadi tahanan di Lapas Sukamiskin pada Mei 2012 setelah sebelumnya di tahan di Lapas Cipinang, Jakarta Timur. Pada 9 Septermber 2015 dia ketahuan tengah makan di sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan bersama dua teman perempuannya. Aksinya terekam dalam foto yang beredar luas di dunia maya. Ia juga kedapatan menonton tenis di Bali.
Sebelum kasus itu Gayus yang berstatus sebagai tahanan juga berhasil terbang ke Bali dan sejumlah negara dengan memanfaatkan paspor palsu atas nama Sony Laksono.
Mochtar Mohamad
Mantan Walikota Bekasi Mochtar Mohamad menjalani masa tahanan di Lapas Sukamiskin sebagai narapidana kasus korupsi penyuapan anggota DPRD Bekasi agar mengesahkan APBD tahun 2010. Dalam masa tahanannya Mochtar meninggalkan lapas dan pergi ke Jakarta. Ia berdalih kepergiannya dalam rangka kegiatan kerja sosial pengembangan pupuk kompos atas program asimilasi yang dijalaninya. Namun yang terjadi dia juga bertemu mantan kuasa hukumnya Sirra Prayuna di kawasan Ampera Raya.
Lapas Koruptor Harus Dibenahi Total
Melihat kasus-kasus itu sangat mengherankan apabila ada pejabat dari Kemenkumhan atau pejabat lapas yang mengaku tidak menahu ada praktik jual beli fasilitas istimewa antara napi dengan pejabat lapas.
Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Easter menilai fasilitas istimewa yang diterima napi korupsi di Lapas Sukamiskin mencerminkan adanya kesenjangan antartahanan di dalam lapas. Hal ini terjadi karena para napi korupsi dipenjara dalam tahanan khusus atau tidak disatukan dengan terpidana kasus kejahatan lainnya seperti pencuri, perampok, dan pembunuh.
“Jadi, enggak ada perlakukan khusus terhadap napi. Saya bicara soal kesenjangan. Napi korupsi bisa mengakses segala kemewahaan, sedangkan napi yang lain mengakses kapital juga enggak bisa,” kata Lola kepada Tirto pada Minggu (22/7/2018).
Menurut Lola penjara khusus koruptor tidak perlu ada. Sebab jika koruptor disatukan hal itu malah membuka peluang bagi mereka berkonsolidasi dan berbagi jejaring untuk mengulang kejahatan serupa. “Bahkan saya berfikir kalau lapas Sukamiskin hanya untuk napi korupsi ya enggak usah, dibubarin aja. Napi korupsi ini harus dibina bersama dengan napi yang lain,” ujarnya.
Mengirim napi kasus korupsi ke Nusakambangan juga dinilai Lola tidak tepat. Narapidana korupsi menurutnya mesti ditempatkan di lokasi yang dekat dengan jangkauan pihak pengawas.
“Justru jangan membuat mereka terisolasi, mereka harus dikembalikan ke lapas-lapas yang biasa, yang dekat dengan kontrol publik dan yang mengampu [KPK],” ungkapnya.
Lola mengatakan memutus praktik jual beli fasilitas istimewa di lapas tidak cukup hanya dengan mencopot pejabat yang berwenang. Menurutnya harus ada pembenahan sistem yang dilakukan secara menyeluruh. Ia mencontohkan penempatan narapidana korupsi di Sukamiskin pada dasarnya tidak ada landasan hukum berupa undang-undang (UU), peraturan pemerintah (PP), maupun peraturan presiden (Perpres).
“Namun perlu dikroscek di level Permen (peraturan menteri), atau surat edaran menteri apakah ada aturannya harus di Lapas Sukamiskin,” katanya.
Sarang Napi Korupsi
Data yang dihimpun tim riset Tirto, per Juni 2018 Lapas Sukamiskin menjadi sarang bagi 354 napi korupsi.
Mereka yang sedang menjalani tahanan di Sukamiskin di antaranya adalah Luthfi Hasan dan Ahmad Fathanah yang menerima vonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 Miliar subsider 6 bulan penjara karena suap urusan kuota impor daging sapi Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang. M. Nazaruddin yang divonis 13 tahun penjara atas dua kasus yaitu pembangunan wisma atlet 2011 dan suap proyek pengadaan yang dilakukan PT duta Graha Indra. Setya Novanto yang divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Anas Urbaningrum yang divonis 14 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar subsider satu tahun empat bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 57,59 miliar subsider empat tahun kurungan.
Irman Gusman yang divonis empat tahun enam bulan, denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan serta pencabutan hak politik selama tiga tahun. Mohamad Sanusi yang divonis 7 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 2 bulan kurungan. Amran Hi Mustary yang divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 800 juta subsider empat bulan kurungan. Mantan Anggota Komisi V Yudi Widiana Aina yang menjadi terpidana korupsi di KemenPUPR, Kepala Biro Perencanaan dan Organisiasi Bakamla Nofel Hasan yang menjadi terpidana korupsi di Bakamla, hingga Mantan Dirjen Hubla Antonius Tonny Budiono (terpidana korupsi suap Hubla) juga menjalani masa penahanan di Lapas Sukamiskin.
Aktivis antikorupsi Dahnil Azhar Simanjuntak tidak heran dengan ditangkapnya Kalapas Sukamiskin dan napi korupsi oleh KPK.
“Informasi terkait Lapas Sukamiskin menjadi rumah dan kantor baru yang nyaman dan aman bagi napi koruptor asal sanggup membayar mahal bukanlah hal yang baru, hanya saja belum ada tindakan hukum yang nyata,” katanya.
Dahnil mencurigai praktik main mata antara napi korupsi dengan pejabat di Kemenkumham. Kecurigaan Dahnil lantaran banyak napi korupsi yang dipenjara di sana. Ia meminta Menkumham bertanggung jawab dan mendalami praktik mafia di Lapas Sukamiskin.
“Dengan begitu Pak Menkumham bisa menjelaskan kepada publik, dan membongkar pratik mafia lapas yang selama ini meresahkan dan mengangkangi hukum kita,” kata Dahnil.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia atas kasus yang terjadi di Lapas Sukamiskin.
“Dengan kejadian di Lapas Sukamiskin pastinya kami mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas kejadian ini, kepada Bapak Presiden, dan tentunya kepada Bapak Menkumham,” kata Sri Puguh di Kantor Ditjen Imigrasi, Kemenkumham Sabtu (21/07/2018) malam.
Redaksi Jawara Post