Kegiatan usaha pertambangan tanpa izin (PETI) secara substansial menunjang pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah-wilayah tersebut, kebanyakan operasi penambangan menimbulkan kerusakan lingkungan atau tata ruang penggunaan lahan serta mengabaikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Hingga saat ini pertumbuhan PETI semakin berkembang disejumlah titik didaerah dengan alasan kepentingan yang beragam.
SITUBONDO, Jawara Post~~Regulasi penindakan terhadap pelaku tambang nampaknya masih memakan waktu cukup lama untuk sedapat mungkin menjerat para pengusaha tambang yang ilegal alias penambang tidak memiliki ijin (PETI). Banyak kendala dilapangan yang ditemui oleh penegak hukum (APH), lantaran minimnya sejumlah alat bukti, bahkan banyaknya kepentingan didaerah terkait pertumbuhan ekonomi.
Kali ini, Eko Febrianto – Ketua Umum LSM Siti Jenar (Situbondo Investigasi Jejak Kebenaran) sedikit demi sedikit menguak fakta yang ada. Bukan lagi tentang ijin usaha pertambangan (IUP) melainkan adanya pelanggaran dalam melaksanakan juklak dalam ijin tersebut. “Bicara tambang, kita lihat dulu BBM nya dari mana, terus petunjuk dalam ijinnya seperti apa. Apalagi sampai ada penjualan barang hasil pertambangan,” ujarnya.
Kata Eko, banyak pengusaha tambang yang tidak mematuhi regulasi aturan yang berlaku. Bahkan, ada yang terang – terangan menabrak juklap penanganan Tindak Pidana (TP) pertambangan dari Kapolri No. III huruf A poin 5. “Ada temuan kami tentang adanya dugaan kuat pelanggaran tersebut, kami punya bukti dan transaksi yang terdukumentasi,” imbuhnya.
Pantauan Jawara Post dilapangan, marak hilir mudik kendaran dump truck bermuatan hasil tambang. Meskipun ditutup terpal (aturan ditlantas), tidak jarang roda empat itu membuat macet arus lalin lantaran mogok ditengah jalan. Kadangkala ada material yang tercecer dijalan raya, sehingga berpotensi petaka pada pengguna jalan lainnya.
Apalagi, perkembangan PETI sudah mencapai tahap yang cukup menghawatirkan, karena juga menimbulkan tumbuhnya perdagangan produk pertambangan di pasar-pasar gelap (black market trading), yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap penghindaran pajak resmi penjualan produk pertambangan.
Apabila terjadi kegiatan penambangan pelakunya tidak memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan yang berbunyi “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
“Nah itulah Mas, masalah pertambangan ini sangat kompleks dan ini bukan tindak pidana ringan, melainkan tindak pidana tertentu. Banyak sisi hukum yang diabaikan dengam dikemas seakan semuanya LEGAL, padahal aslinya sangat parah dan publik dikelabuhi. Tentang penegakan hukum terhadap tambang dibilang menghambat pembangunan, itu kalimat yang prematur Mas. Sejatinya, patuhi aturan yang ada dan utamakan kepentingan orang banyak,” pungkas Eko yang akrab disapa Siti Jenar itu.
Data yang terhimpun, kegiatan tambang di Situbondo tidak dapat dihitung dengan jari tangan. Malahan, sekitar 85 persen berpotensi melawan hukum dan melanggar aturan yang berlaku. Rata – rata kegiatan tambang tersebut lebih dominan pada bisnis (kepentingan pribadi) atau profiet, dibanding mengutamakan kepentingan umum, termasuk perkembangan pembangunan Kota Santri ini.
Untuk mengetahui secara detail dan sejauh mana perkembangan pelaporan LSM dikepolisian Resort Situbondo seputar dugaan kuat pertambangan ilegal (ilegal mining), simak berita selanjutnya di Jawara Post www.jawarapost.com edisi mendatang….
@gus/din