MADURA, JP.Com – Kabupaten Bangkalan menjadi perhatian publik setelah ada penyekatan di Jembatan Suramadu untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Penyekatan sisi Bangkalan difokuskan kepada kendaraan roda dua maupun empat yang berpelat M (Madura). Sedangkan kendaraan selain pelat M akan dijaring di pos penyekatan sisi Surabaya.
Hal tersebut diprotes oleh beberapa pihak.
Koalisi Masyarakat Madura Bersatu melakukan demonstrasi ke Balai Kota Surabaya, Jawa Timur. Demo bertajuk “demonstrasi akbar Madura melawan” ini menyuarakan tiga tuntutan.
Pertama, hentikan penyekatan yang diskriminatif, lakukan saja swab antigen di tempat hiburan dan tempat kerumunan lainnya di Surabaya, dan meminta Wali Kota Surabaya harus minta maaf kepada warga Madura.
Sementara itu, per Selasa (15/6/2021), Kabupaten Bangkalan Jawa Timur berubah status dari zona oranye menjadi zona merah penyebaran Covid-19 kemarin.
Zona merah dalam peta sebaran Covid-19 berarti daerah dengan risiko tinggi penyebaran Covid-19.
Nah, paska kejadian itu kita coba amenyegarkna ingatan dengan sedikit mengupas sejarah nna lalu tentang Bangkalan.
Legenda tewasnya Ki Lesap sang pemberontak sakti
Dibebaskannya Jembatan Suramadu menjadi jalan non tol membuat Pelabuhan Kamal tidak lagi menjadi pilihan utama warga Madura untuk menyeberang ke Surabaya.
Dikutip dari bangkalankab.go.id, kata Bangkalan berasal dari kata “bangkah” dan “La’an” yang artinya mati sudah.
Nama itu diambil dari legenda pemberontak sakti bernama Ki Lesap yang tewas di Madura Barat.
Diceritakan di disperpusip .jatimprov.go.id, Lesap adalah putra Madura keturunan Panembahan Cakraningrat dengan selir.
Awalnya, ia tak pernah tahu bahwa ia adalah keturunan panembahan Cakraningrat hingga akhirnya sang ibu pun memberi tahu Lesap tentang identitas ayahnya.
Lesap muda suka bertapa di gunung, di makam keramat. Suatu hari dia bertapa di Gunung Geger di wilayah Bangkalan dengan waktu yang cukup lama. Selepas bertapa, Lesap memiliki keahlian baru menyembuhkan macam-macam penyakit.
Oleh raja di Pulau Madura yang saat ini dikenal dengan daerah Bangkalan, ia dipanggil dan diperkenankan tinggal di sebuah rumah di Desa Pejagan.
Ki Lesap diperkenankan membuka pengobatan untuk mereka yang sakit. Ia juga kerap mendapatkan penghormatan dan penghargaan. Namun, ia tak puas karena masih selalu diawasi oleh raja.
Ki Lesap memiliki ambisi untuk memegang pemerintahan di Pulau Madura. Ia pun pergi meninggalkan kota tersebut menuju ke arah timur. Setiba di Gunung Pajudan di daerah Guluk-guluk, ia mulai bertapa selama beberapa tahun.
Ki Lesap memiliki sebuah golok yang bisa diperintahkan mengamuk sendiri tanpa ada yang memegangnya. Karena kesaktiannya, nama Ki Lesap terkenal di pelosok Madura.
Saat merasa yakin, ia pun mulai mengobarkan api pemberontakan. Ia mulai mendapatkan simpati dari rakyat dan saat turun dari pertapaannya di Gunung Payudan, ia berhasil dengan mudah menaklukkan desa-desa yang ia datangi.
Pemberontakan Ki Lesap pun dimulai dari timur.
Ia mulai menyerang Kerajaan Sumenep dan berhasil mendudukinya. Pangeran Tjokronegoro IV (Raden Alza) sebagai Bupati Sumenep merasa sangat ketakutan dan ia melarikan diri bersama-sama keluarganya ke Surabaya, lalu melaporkan adanya pemberontakan tersebut kepada Kompeni.
Dari Sumenep, Ki menuju ke Pamekasan melalui jalan sebelah selatan dan singgah di Bluto, Prenduan, Kadura dan seterusnya.
Di semua tempat yang dilalui, ia disambut oleh rakyat dengan penuh simpati dan terus mereka menggabungkan diri masuk pasukan pemberontak.
Pamekasan dengan mudah pula dapat dikalahkan, karena pada waktu itu Bupati Pamekasan yang bernama Tumenggung Ario Adikoro IV (R Ismail) tidak ada di tempat dan sedang bepergian ke Semarang.
Mengetahui hal tersebut, Adikoro IV menantu Cakraningrat V di wilayah yang saat ini dikenal Bangkalan meminta izin ke mertuanya untuk perang melawan Lesap.
Adikoro naik kuda dari Bangkalan menuju Blega dan bertemu dengan kelompok dari Pamekasan yang dipimpin oleh Wongsodirejo, Penghulu Bagandan. Mereka bergabung dengan Adikoro.
Saat isirahat di Sampang dan makan siang, datangkan utusan dari Lesap yang membawa surat berisi tantangan untuk berperang.
Adikoro yang sedang makan langsung marah dan berdiri untuk mengajak pasukannya untuk berperang melawan Lesap.
Saat itu Penghulu Bagandan tidak setuju untuk berangkat segera karena hari itu adalah hari yang nahas.
Ia menasihati Adikoro untuk berangkat bessok hari. Namun, Adikoro tak sabar menunggu walau hanya semalam. Akhirnya Penghulu Bagandan pun menemani Adikoro hari itu juga pergi ke Pamekasan.
Adikoro IV dan pasukannya mengamuk dan musuhnya dipukul mundur hingga ke Peganten, wilayah Pamekasan.
Karena kelelahan, perut Adikoro terkena senjata dan ususnya terburai.
Namun, semangatnya tak padam. Ia melilitkan ususnya di tangkai keris dan kembali mengamuk dengan tombaknya.
Namun, ia kehabisan tenaga dan jatuh lalu meninggal. Hal yang sama terjadi pada Penghulu Bagandan yang gugur di medan perang bersama Adikoro IV.
Setelah menang, Ki Lesap terus ke timut dan bertempur dengan Cakraningrat V. Pasukan kerajaan berhasil dipukul mundur hingga bantuan kompeni didatangkan dari Surabaya. Pertempuran berkobar kembali.
Lagi-lagi, bantuan Kompeni tak bertahan dan terpaksa mundur. Cakraningrat V yang merasa kalah lalu mengungsi ke Melaja dan benteng dipertahankan oleh kompeni.
Lesap pun membuat pesanggrahan di Desa Tonjung.
Pada suatu malam, Cakraningrat V bermimpi agar Lesap dikirimi seorang perempuan yang disuruh memegang bendera putih yang berarti Bangkalan akan menyerah.
Mimpi itu pun dijalankan oleh Cakraningrat.
Ia mengirim perempuan Ronggeng yang mengenakan pakaian keraton dan disuruh membawa bendera putih untuk menemui Ki Lesap.
Lesap menerima pemberian itu dan membawa perempuan itu ke pesanggrahannya dengan keyakinan Bangkalan sudah menyerah.
Cakraningrat menunggu kabar dan tiba-tiba tombak pusaka Bangkalan yang benama Si Nenggolo gemetar dan mengeluarkan sinar. Ia pun bangkit dan mengambil tombak, lalu mengajak pasukannya berangkat menumpas Ki Lesap.
Di Desa Tojung, Ki Lesap terkejut saat Cakraningrat V tiba-tina menyerangnya. Tak menunggu lama, Cakraningrat V mendekati Ki Lesap dan menancapkan tombak ke dadanya.
Ki Lesap langsung roboh dan meninggal. Saat itu, rakyat dan rajanya sama-sama berteriak “Bangka-la’an” yang artinya sudah mati.
Karena itu, sebagian menyakini nama Bangkalan berasal dari kalimat yang diucapkan saat kematian Ki Lesap.
Humas